WAWASAN KEILMUAN
Jumat, 28 September 2012
Rabu, 26 September 2012
Belajar Sejarah Bahasa Nasional Indonesia
Belajar Sejarah Bahasa Kesatuan Indonesia
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu,
para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan
Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2)
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama
Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa
bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada
tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai
bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada
tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945
disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa
Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara
lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.
Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak
zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca)
bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh
Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7.
Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan
Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M
(Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang
Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf
Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya
dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga
ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti
berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa
kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga
dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai
bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun
sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari
luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama
Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada
bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183),
K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089).
Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang
berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa
perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari
peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti
tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M,
maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah
Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan
Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan
menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah
diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan
antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan
karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin
berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai
di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh
corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai
bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan
bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul
dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan
bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan
pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia
(Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia
dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran,
dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah
mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional
sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai
lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. (from: berbagai sumber)
Selasa, 25 September 2012
identitas nasional materi kuliyah civic education
IDENTITAS NASIONAL
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya manusia hidup tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri,
manusia senantiasa membutuhkan orang lain. Pada akhirnya manusia hidup
secara berkelompok-kelompok. Manusia dalam bersekutu atau berkelompok
akan membentuk suatu organisasi yang berusaha mengatur dan mengarahkan
tercapainya tujuan hidup yang besar. Dimulai dari lingkungan terkecil
sampai pada lingkungan terbesar. Pada mulanya manusia hidup dalam
kelompok keluarga. Selanjutnya mereka membentuk kelompok lebih besar
lagi sperti suku, masyarakat dan bangsa. Kemudian manusia hidup
bernegara. Mereka membentuk negara sebagai persekutuan hidupnya. Negara
merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh kelompok manusia yang
memiliki cita-cita bersatu, hidup dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan
yang sama. Negara dan bangsa memiliki pengertian yang berbeda. Apabila
negara adalah organisasi kekuasaan dari persekutuan hidup manusia maka
bangsa lebih menunjuk pada persekutuan hidup manusia itu sendiri. Di
dunia ini masih ada bangsa yang belum bernegara. Demikian pula
orang-orang yang telah bernegara yang pada mulanya berasal dari banyak
bangsa dapat menyatakan dirinya sebagai suatu bangsa. Baik bangsa maupun
negara memiliki ciri khas yang membedakan bangsa atau negara tersebut
dengan bangsa atau negara lain di dunia. Ciri khas sebuah bangsa
merupakan identitas dari bangsa yang bersangkutan. Ciri khas yang
dimiliki negara juga merupakan identitas dari negara yang bersangkutan.
Identitas-identitas yang disepakati dan diterima oleh bangsa menjadi
identitas nasional bangsa.
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional
kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara
adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan
kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD
kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral,
tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara
normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional
maupun internasional. Perlu dikemukaikan bahwa nilai-nilai budaya yang
tercermin sebagai Identitas Nasional tadi bukanlah barang jadi yang
sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu
yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat
menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi
dan implikasinyaadalahidentitas nasional juga sesuatu yang terbuka,
dinamis, dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar
tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam
masyarakat. Krisis multidimensi yang kini sedang melanda masyarakat kita
menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan
Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional
sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam Pembukaan,
khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu :
Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya
rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi
puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung
sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan
baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia “. Kemudian dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah
disebutkan dalam Pasal 32:
1. Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memeliharra dan
mengembangkan nilai-nilai budaya.
2. Negara menghormatio dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk
membina dan mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan
arahnya, terlepas dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang
dalam khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166 definisi
sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.
Pengertian Identitas Nasional
Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan.
Secara etimologis , identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan
“ nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang
memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat
pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang
lain. Kata “nasional” merujuk pada konsep kebangsaan. Kata identitas
berasal dari bahasa Inggris identiti yang memiliki pengerian harfiah
ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau
sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Jadi, pegertian Identitas
Nsaional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat
pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan
paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk
disini adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam arti lain
juga sebagai Dasar Negara yang merupakan norma peraturan yang harus
dijnjung tinggi oleh semua warga Negara tanpa kecuali “rule of law”,
yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warga Negara, demokrasi serta
hak asasi manusia yang berkembang semakin dinamis di Indonesia.
Identitas Nasional Indonesia :
1. Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia
2. Bendera negara yaitu Sang Merah Putih
3. Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya
4. Lambang Negara yaitu Pancasila
5. Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika
6. Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila
7. Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945
8. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
9. Konsepsi Wawasan Nusantara
10. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai Kebudayaan Nasional
Unsur-Unsur Identitas Nasional
Unsur-unsur pembentuk identitas yaitu:
1. Suku bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat
askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan
jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau
kelompok etnis dengan tidak kurang 300 dialeg bangsa.
2. Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis.
Agama-agama yan tumbuh dan berkembang di nusantara adalah agama Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong H Cu pada masa
orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara. Namun sejak
pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara
dihapuskan.
3. Kebudayaan: adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang
isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang
secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan
dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagi rujukan dan
pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda
kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
4. Bahasa: merupakan unsure pendukung Identitas Nasonal yang lain.
Bahsa dipahami sebagai system perlambang yang secara arbiter dientuk
atas unsure-unsur ucapan manusia dan yang digunakan sebgai sarana
berinteraksi antar manusia.
Dari unsur-unsur Identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut :
• Identitas Fundamental, yaitu pancasila merupakan falsafah bangsa, Dasar Negara, dan Ideologi Negara
• Identitas Instrumental yang berisi UUD 1945 dan tata perundangannya,
Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan
“Indonesia Raya”.
• Identitas Alamiah, yang meliputi Negara kepulauan (Archipelago) dan
pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, dan agama, sertakepercayaan.
Menurut sumber lain ( http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html) disebutkan bahwa:
Satu jati diri dengan dua identitas:
1. Identitas Primordial
• Orang dengan berbagai latar belakang etnik dan budaya: jawab, batak, dayak, bugis, bali, timo, maluku, dsb.
• Orang dengan berbagai latar belakang agama: Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan sebagainya.
2. Identitas Nasional
• Suatu konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya.
• Perlu diruuskan oleh suku-suku tersebut. Istilah Identitas Nasional
secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa
yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi yang sangat kuat
terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam
The Capitalist Revolution, era globalisasi dewasa ini, ideology
kapitalisme yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah
masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan
nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak
langsung juga nasib, social, politik dan kebudayaan. Perubahan global
ini menurut Fakuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari
ideologi partikular kearah ideology universal dan dalam kondisi seperti
ini kapitalismelah yang akan menguasainya. Dalam kondisi seperti ini,
negara nasional akan dikuasai oleh negara transnasional yang lazimnya
didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme. Konsekuensinya,
negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun
demikian, dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung
kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, cirri khas suatu
bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya
asing akan menghadapi Challence dan response. Jika Challence cukup besar
sementara response kecil maka bangsa tersebut akan punah dan hal ini
sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangfsa Indian
di Amerika. Namun demikian jika Challance kecil sementara response
besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang
kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam
menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan
identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai
dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi
di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh
tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah
kebangkitan kembali kesadaran nasional.
Faktor-Faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional
1. Faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi:
• Faktor Objektif, yang meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis
• Faktor Subjektif, yaitu faktor historis, social, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia (Suryo, 2002)
2. Menurut Robert de Ventos, dikutip Manuel Castelles dalam bukunya
“The Power of Identity” (Suryo, 2002), munculnya identitas nasional
suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis ada 4 faktor penting,
yaitu:
• Faktor primer, mencakup etnisitas, territorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya.
• Faktor pendorong, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi,
lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembanguanan lainnya dalam
kehidupan bernegara.
• Faktor penarik, mencakup modifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi,
tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional
• Faktor reaktif, pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan
identitas nasional bangsa Indonesia yang telah berkembang dari masa
sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa
lain.
Faktor pembentukan Identitas Bersama. Proses pembentukan bangsa- negara
membutuhkan identitas-identitas untuk menyataukan masyarakat bangsa yang
bersangkutan. Faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama
suatu bangsa, yaitu :
• Primordial
• Sakral
• Tokoh
• Bhinneka Tunggal Ika
• Sejarah
• Perkembangan Ekonomi
• Kelembagaan
Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia sebagai berikut
1. Adanya persamaan nasib , yaitu penderitaan bersama dibawah penjajahan bangsa asing lebih kurang selama 350 tahun
2. Adanya keinginan bersama untuk merdeka , melepaskan diri dari belenggu penjajahan
3. Adanya kesatuan tempat tinggal , yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke
4. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa
Cita- Cita, Tujuan dan Visi Negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara yang bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Dengan rumusan singkat, negara Indonesia
bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini sesuai dengan amanat dalam
Alenia II Pembukaan UUD 1945 yaitu negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Tujuan Negara Indonesia selanjutnya terjabar dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945. Secara rinci sbagai berikut :
1. Melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan Kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi, dan keadilan sosial
Adapun visi bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia
yang damai , demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera,
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh
manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa dan berahklak
mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, mengausai
ilmu pengetahuandan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi
serta berdisiplin. Setelah tidak adanya GBHN makan berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka mengenah (RPJM) Nasional 2004-2009, disebutkan bahwa
Visi pembangunan nasional adalah :
1. Terwujudnya kehidupan masyarakat , bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.
2. Terwujudnya masyarakat , bangsa dan negara yang menjujung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia.
3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan
penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi
pembangunan yang berkelanjutan.
Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat
internasional, memilki sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia berkembang
menujufase nasionalisme modern, diletakanlan prinsip-prinsip dasar
filsafat sebagai suatu asas dalam filsafat hidup berbangsa dan
bernagara. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa
yang diangkat dari filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian
diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat Negara yaitu
Pancasila. Jadi, filsafat suatu bangsa dan Negara berakar pada pandangan
hidup yang bersumber pada kepribadiannya sendiri. Dapat pula dikatakan
pula bahwa pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Indonesia
pada hakikatnya bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi,
filsafat pancasila itu bukan muncul secara tiba-tiba dan dipaksakan
suatu rezim atau penguasa melainkan melalui suatu historis yang cukup
panjang. Sejarah budaya bangsa sebagai akar Identitas Nasional. Menurut
sumber lain
(http://unisosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid=52)
Disebutkan bahwa: kegagalan dalam menjalankan dan medistribusikan
output berbagia agenda pembangnan nasional secaralebih adil akan
berdampak negatif pada persatuan dan kesatuan bangsa. Pada titik inilah
semangat Nasionalisme akan menjadi slah satu elemen utama dalam
memperkuat eksistensi Negara/Bangsa. Study Robert I Rotberg secara
eksplisit mengidentifikasikan salah satu karakteristik penting Negara
gagal (failed states) adalah ketidakmampuan negara mengelola identitas
Negara yang tercermin dalam semangat nasionalisme dalam menyelesaikan
berbagai persoalan nasionalnya. Ketidakmampuan ini dapat memicu intra
dan interstatewar secara hamper bersamaan. Penataan, pengelolaan, bahkan
pengembangan nasionalisme dalam identitas nasional, dengan demikian
akan menjadi prasyarat utama bagi upaya menciptakan sebuah Negara kuat
(strong state). Fenomena globalisasi dengan berbagai macam aspeknya
seakan telah meluluhkan batas-batas tradisional antarnegara, menghapus
jarak fisik antar negara bahkan nasionalisme sebuah negara. Alhasil,
konflik komunal menjadi fenomena umum yang terjadi diberbagai belahan
dunia, khususnya negara-negara berkembang. Konflik-konflik serupa juga
melanda Indonesia. Dalam konteks Indonesia, konflik-konflik ini kian
diperuncing karekteristik geografis Indonesia. Berbagai tindakan
kekerasan (separatisme) yang dipicu sentimen etnonasionalis yang terjadi
di berbagai wilayah Indonesia bahkan menyedot perhatian internasional.
Nasionalisme bukan saja dapat dipandang sebagai sikap untuk siap
mengorbankan jiwa raga guna mempertahankan Negara dan kedaulatan
nasional, tetapi juga bermakna sikap kritis untuk member kontribusi
positif terhadap segala aspek pembangunan nasional. Dengan kata lain,
sikap nasionalisame membutuhkan sebuah wisdom dalam mlihat segala
kekurangan yang masih kita miliki dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, dan sekaligus kemauan untuk terus mengoreksi
diri demi tercapainya cita-cita nasional. Makna falsafah dalam pembukaan
UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Alinea pertama menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak
segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan , karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan. Maknanya, kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan
penjajahan bertentangan dengan hak asasi manusia.
2. Alinea kedua menyebutkan: “ dan perjuangan kemerdekaaan Indonesia
telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia kepada depan gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Maknanya: adanya
masa depan yang harus diraih (cita-cita).
3. Alinea ketiga menyebutkan: “ atas berkat rahmat Allah yang maha
kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya. Maknanya, bila Negara ingin mencapai cita-cita maka
kehidupan berbangsa dan bernegara harus mendapat ridha Allah SWT yang
merupakan dorongan spiritual.
4. Alinea keempat menyebutkan: “ kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, menmcerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam susunan Negara republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dan berdasarkan kepada: ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Alinea ini
mempertegas cita-cita yang harus dicapai oleh bangsa Indonesia melalui
wadah Negara kesatuan republik Indonesia.
PENUTUP
Kesimpulan
Sekilas kata-kata diatas memang membuat tanda tanya besar dalam
memaknainya. Beribu-ribu kemungkinan yang terus melintas dibenak
pikiran, untuk menjawab sebuah pertanyaan yang membahas tentang
identitas nasional.Kendatipun, dalam hidup keseharian yang mencakup
suatu negara berdaulat, Indonesia sendiri sudah menganggap bahwa dirinya
memiliki identitas nasional. Identitas nasional merupakan pandangan
hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai
Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Unsur-unsur dari identitas nasional
adalah Suku Bangsa: gol sosial (askriptif : asal lhr), golongan,umur.
Agama : sistem keyakinan dan kepercayaan. Kebudayaan: pengetahuan
manusia sebagai pedoman nilai,moral, das sein das sollen,dlm kehidupan
aktual. Bahasa : Bahasa Melayu-penghubung (linguafranca). Faktor-faktor
kelahiran identitas nasional adalah Faktor-faktor yang mendukung
kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi faktor subjektif
dan factor objektif, Faktor primer, mencakup etnisitas, territorial,
bahasa, agama, dan yang sejenisnya. Faktor pendorong, meliputi
pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata
modern dan pembanguanan lainnya dalam kehidupan bernegara. Faktor
penarik, mencakup modifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi,
tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Faktor
reaktif, pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas
nasional bangsa Indonesia yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa
Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain.
Saran
Identitas nasional merupakan suatu ciri yang dimiliki oleh bangsa
kita untuk dapat membedakannya dengan bangsa lain. Jadi, untuk dapat
mempertahankan keunika-keunikan dari bangsa Indonesia itu sendiri maka
kita harus menanamkan akan cinta tanah air yang diwujudkan dalam bentuk
ketaatan dan kepatuhan terhadap atura-aturan yang telah ditetapkan serta
mengamalkan nilai-nilai yang sudah tertera dengan jelas di dalam
pancasila yang dijadikan sebagai falsafah dan dasar hidup bangsa
Indonesia. Dengan keunikan inilah, Indonesia menjadi suatu bangsa yang
tidak dapat disamakan dengan bangsa lain dan itu semua tidak akan pernah
lepas dari tanggung jawab dan perjuangan dari warga Indonesia itu
sendiri untuk tetap menjaga nama baik bangsanya.
Identitas Nasional Indonesia
March 27th, 2010 • Related • Filed Under
Identitas berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada suatu
hal sehingga menunjukkan suatu keunikkannya serta membedakannya dengan
hal-hal lain. Nasional berasal dari kata nasion yang memiliki arti
bangsa, menunjukkan kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang
memiliki semangat, cita-cita, tujuan serta ideologi bersama.Jadi,
Identitas Nasional Indonesia adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas
bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
dentitas Nasional Indonesia meliputi segenap yang dimiliki bangsa
Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain seperti kondisi
geografis, sumber kekayaan alam Indonesia, demografi atau kependudukan
Indonesia, ideolgi dan agama, politik negara, ekonomi, dan pertahanan
keamanan.
Selama ini masyarakat Indonesia masih bingung dengan identitas
bangsanya. Agar dapat memahaminya, pertama-tama harus dipahami terlebih
dulu arti Identitas Nasional Indonesia. Moto nasional Indonesia adalah
“Bhinneka Tunggal” atau “kesatuan dalam keragaman”. Hal ini diciptakan
oleh para pemimpin Republik yang baru diproklamasikan pada tahun 1945
dan tantangan politik adalah sebagai benar mencerminkan hari ini seperti
yang lebih dari 50 tahun yang lalu. Karena meskipun setengah abad
menjadi bagian dari Indonesia yang merdeka telah menimbulkan perasaan
yang kuat tentang identitas nasional di lebih dari 13.000 pulau-pulau
yang membentuk kepulauan, banyak kekuatan lain yang masih menarik negara
terpisah. Deklarasi kemerdekaan mengikuti proses yang lambat penjajahan
Belanda yang dimulai pada abad ke-17 dengan penciptaan VOC Belanda.
Saat itu rempah-rempah yang menarik para pedagang Eropa untuk koleksi
pulau-pulau kecil di tempat yang sekarang Eastern Indonesia. Belanda
memonopoli perdagangan dan dari sana memperluas pengaruh mereka –
terutama melalui pemerintahan tidak langsung – di koleksi kesultanan dan
kerajaan yang independen yang membentuk daerah itu. Kesatuan politik di
bawah Belanda hanya dicapai pada awal abad ini, meninggalkan identitas
regional yang kuat utuh.
Menghadapi identitas nasional
Bangsa Indonesia sendiri masih kesulitan dalam menghadapi masalah
bagaimana untuk menyatukan negara yang mempunyai lebih dari 250 kelompok
etnis, yang memiliki pengalaman dari Belanda bervariasi dari satu
wilayah ke wilayah lainnya.
Sukarno, yang menjadi presiden pertama dari Republik, adalah seorang
nasionalis tertinggi. Dialah yang menciptakan ideologi nasional
Indonesia Pancasila dirancang untuk mempromosikan toleransi di antara
berbagai agama dan kelompok-kelompok ideologis. Penyebaran bahasa
nasional – Bahasa Indonesia – juga membantu menyatukan multi-bahasa
penduduk.
GEOGRAFI
Indonesia terdiri dari 17.508 pulau, sekitar 6.000 yang dihuni. ini
tersebar di kedua sisi dari garis khatulistiwa.Lima pulau terbesar
adalah Jawa, Sumatra, Kalimantan (di Indonesia bagian dari Kalimantan),
New Guinea (bagian dari Papua Nugini), dan Sulawesi. Indonesia
berbatasan dengan Malaysia di pulau Kalimantan dan Sebatik, Papua Nugini
di pulau New Guinea, dan Timor Timur di pulau Timor.
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak di DKI Jakarta.
DEMOGRAFI
pemerintah secara resmi hanya mengakui enam agama: Islam, Protestan,
Katolik Roma, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Walaupun bukan merupakan
negara Islam, Indonesia adalah dunia yang paling padat penduduknya
mayoritas beragama Islam. Dan agama yang paling minoritas adalah Hindu
dan Budha,meskipun begitu tetap berpengaruh pada kebudayaan bangsa
Indonesia.
IDEOLOGI
Identitas nasional Indonesia bersifat pluralistik (ada
keanekaragaman) baik menyangkut sosiokultural atau religiositas.
Identitas fundamental/ ideal adalah Pancasila yang merupakan falsafah
bangsa. Identitas instrumental adalah identitas sebagai alat untuk
menciptakan Indonesia yang dicita-citakan. Alatnya berupa UUD 1945,
lambang negara, bahasa Indonesia, dan lagu kebangsaan.
POLITIK NEGARA
Indonesia adalah republik dengan sistem presidensiil. Sebagai negara
kesatuan, kekuasaan terkonsentrasi di pemerintah pusat. Semenjak Tahun
1998 amandemen UUD 1945 di Indonesia telah dirubah eksekutif, yudikatif,
dan legislatif. Presiden Indonesia adalah kepala negara,
komandan-in-chief dari Angkatan Bersenjata Nasional Indonesia, dan
direktur pemerintahan dalam negeri, pembuatan kebijakan, dan luar
negeri. Presiden menunjuk sebuah dewan menteri, yang tidak perlu dipilih
anggota legislatif. Pemilihan presiden tahun 2004 adalah yang pertama
di mana orang-orang yang dipilih secara langsung presiden dan Vice
President. Presiden dapat melayani maksimum dua berturut-turut lima
tahun.
Secara administratif, Indonesia terdiri dari 33 provinsi, lima di
antaranya memiliki status khusus. Setiap provinsi memiliki politik
sendiri legislatif dan gubernur. Provinsi-provinsi tersebut dibagi lagi
menjadi kabupaten dan kota, yang kemudian dibagi lagi menjadi kecamatan,
dan kembali ke pengelompokan desa.
IDENTITAS NASIONAL
Special Resume
A. KOMPETENSI
Mahasiswa diharapkan mampu mengenali karakteristik identitas nasional
sehingga dapat memiliki daya tangkal terhadap berbagai hal yang akan
menghilangkan identitas nasional Indonesia.
B. INDIKATOR
Mahasiswa diharapkan mampu:
1. mengerti tentang Latar Bclakang dan Pengcrtian Identitas Nasional;
2. menjelaskan Muatan dan Unsur-Unsur Identitas Nasional;
3. menjelaskan keterkaitan Globalisasi dengan Identitas Nasional;
4. menjelaskan keterkaitan Integrasi Nasional dengan Identitas Nasional;
5. menganalisis tentang Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan sebagai
paham yang mengantarkan pada konsep Identitas Nasional; serta
6. menganalisis tentang Revitalisasi Pancasila sebagai Pemberdayaan Identitas Nasional;
C. DAFTAR ISTILAH KUNCI
Identitas Nasional pada hakikatnya merupakan “manifestasi nilai-nilai
budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatii nation
(bangsa) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi
sunlit bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hldup dan
kehidupannya”.(Wibisono Koento: 2005)
Globalisasi diartikan sebagai suatu era atau zaman yang ditandai dengan
perubahan tatanan kehidupan dunia akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya teknologi informasi sehingga interaksi manusia
nienjadi sempit, serta seolah-olah dunia tanpa ruang.
Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan adalah sebuah situasi
kejiwaan ketika kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung pada
negara bangsa atas narna scbuah bangsa. Munculnya nasionalisme terbukti
sangat selektif” sebagai alat pcrjuangan bcrsama dalam rangka merebut
kemerdekaan dari cengkeraman kolonial.
Integrasi Nasional adalah penyatuan bagian-bagian yang bcrbeda dari
suatu masyarakat menjadi suatu keseluruan yang lebih utuh atau memadukan
masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa.
Intcgrasi nasional tidak lepas dari pcngcrtian integrasi sosial yang
mcmpunyai arti perpaduan dari kelompok-kclornpok masyarakat yang asalnya
berbeda menjadi suatu kclompok besar dengan cara melcnyapkan perbedaan
dan jali diri masing-masing. Dalam arti ini, integrasi sosial sama
artinya dengan asimilasi atau pembauran.
Rcvitalisasi Pancasila adalah pemberdayaan kembali kedudukan, fungsi,
dan pcranan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi,
dan sumber nilai-nilai hangsa Indonesia. (Kocnto W: 2005)
Situasi dan kondisi masyarakat dcwasa ini menjadikan kita prihatin
dan sekaligus mcrasa ikut bertanggung jawab atas tercabik-cabiknya
Indonesia serta kerusakan social yang menimpa masyarakatnya. Bangsa
Indonesia yang dahulu dikenal sebagai “hezachsfc volk tcr aardc ” dalam
pergaulan antarbangsa, kini sedang mengalami bukan saja krisis
identitas, melainkan juga krisis dalam berbagai dimensi kehidupan yang
melahirkan instabilitas yang berkcpanjangan semenjak reformasi
digulirkan pada tahun 1998. (Koento W: 2005)
Krisis moneter yang disusul krisis ekonomi dan politik yang akar-akarnya
tcrtanam dalam krisis moral dan menjalar ke dalam krisis budaya,
menjadikan rnasyarakat kita kchilangan orientasi nilai. Masyarakat
Indonesia yang dikenal ramah, hancur porak-poranda, kemudian menjadi
kasar, serta gersang dalam kemiskinan budaya dan kekeringan spritual.
“Social terorism” mimcul dan berkcmbang di sana-sini dalam ,fenomena
pcrgolakan fisik, pembakaran, dan penjarahan yang disertasi pembunuhan
sebagaimana terjadi di Poso, Ambon, dan bom bunuh diri di berbagai
tempat yang disiarkan sccara luas, baik olch media massa di dalam maupun
di luar ncgcri. Semenjak peristiwa pcrgolakan antaretnis di Kalimantan
Barat, bangsa Indonesia di forum internasional dilecehkan sebagai bangsa
yang tclah kchilangan peradabannya. Kehalusan budi, sopan santun dalam
sikap dan perbuatan, kerukunan, toleransi, serta solidaritas sosial,
idealismc, dan scbagainya telah hilang hanyut dilanda oleh derasnya arus
modernisasi dan globalisasi yang penuh paradoks. Berbagai lembaga
kocar-kacir semuanya dalam malfungsi dan disfungsi. Trust atau
kepercayaan di antara sesama, baik vertikal maupun horisontal telah
lenyap dalam kehidupan bermasyarakat. Identitas nasional kita dilecehkan
dan dipertanyakan eksistensinya.
Krisis multidimensi yang sedang melanda masyarakat menyadarkan kita
semua bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan
Identitas Nasional telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional,
sebagaimana telah dirumuskan oleh para pendiri negara dalam Pembukaan
UUD 1945 yang intinya adalah memajukan kebudayaan Indonesia. Dengan
demikian, secara konstitusional pengembangan kebudayaan untuk mernbina
dan mengembangkan Identitas Nasional telah diberi dasar dan arahnya.
Identitas Nasional
Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki
pengertian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melckat
pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam
terminologi antropologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan
dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri,
kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri. Mengacu pada
pengertian ini identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi
berlaku pula pada suatu kelompok. Adapun kata nasional merupakan
identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang
diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik, seperti budaya, agama, dan
bahasa, maupun nonllsik, seperti keinginan, cita-cita, dan tujuan.
Himpunan kelompok-kelompok inilah yang disebut dengan istilah identitas
bangsa atau identitas nasional yang pada akhirnya melahirkan lindakan
kelompok (colective action) yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau
pergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional. Kata
nasional sendiri tidak bisa dipisahkan dari kemunculan konsep
nasionalisme.
Bila dilihat dalam konteks Indonesia maka Identitas Nasional itu
merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang
dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang “dihimpun” dalam
satu kesatuan Indonesia mcnjadi kebudayaan nasional dengan acuan
Pancasila dan roh “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai dasar dan arah
pengembangannya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa hakikat
Identitas Nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan
berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin
dalam penataan kehidupan dalam arti luas. Misalnya, dalam aturan
perundang-undangan atau hukum, sistem pemerintahan yang diharapkan,
scrla dalam nilai-nilai etik dan moral yang secara normatif diterapkan
di dalam pcrgaulan, baik dalam tataran nasional maupun intcrnasional,
dan scbagainya. Nilai-nilai budaya yang tercermin di dalam Identitas
Nasional tersebut bukanlah barang jadi yang sudah sclesai dalam kebekuan
normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang “terbuka” yang cenderung
terus-menerus bersemi karena hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh
masyarakat pcndukungnya. Konsekuensi dan implikasinya adalah bahwa
Identitas Nasional adalah sesuatu yang terbuka untuk ditafsirkan dengan
diberi makna barn agar tetap relevan dan fungsional dalam kondisi aktual
yang bcrkcmbang dalam masyarakat.
Muatan Identitas Nasional dapat digambarkan sebagai berikut:
Pandangan Hidup Bangsa
Kcpribadlan Bangsa
Filsafat Pancasila
Ideologi Negara
Dasar Negara
Norma Pcraturan
Rule of Law
Hak dan Kewajiban WN Demokrasi dan HAM
Etika Politik
Ccopolitik Indonesia Geostrategi Ketahanan Nasional
Dari gambaran tcrsebut, bisa dikatakan bahwa Identitas Nasional
adalah merupakan Pandangan Hidup Bangsa, Kepribadian Bangsa, Filsafat
Pancasila, dan juga scbagai Ideologi Negara. Dengan clemikian, Identitas
Nasional mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatarian kehidupan
berbangsa dan bernegara, termasuk di sini adalc.h tatanan hukum yang
berlaku di Indonesia, dalam arti lain juga sebagai dasar negara yang
merupakan norma peraturan (Rule of Law) yang harus dijunjung tinggi oleh
semua warga negara tanpa terkecuali. Norma peraturan ini mcngatur
mengenai hak dan kcwajiban warga negara, demokrasi, serta hak asasi
manusia yang berkembang semakin dinamis di Indonesia. Hal inilah
akhirnya menjadi etika Politik yang kemudian dikembangkan menjadi konsep
geopolitik dan geostrategi Ketahanan Nasional di Indonesia.
Identitas Nasional Indonesia merujuk pada sualu bangsa yang majcmuk.
Ke-majemukan itu merupakan gabungan dari unsur-unsur pembcntuk
identitas, yaitu suku bangsa, agama, kebudayaan, dan bahasa.
1) Suku Bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat
askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan
jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau
kclompok etnis dengan tidak kurang 300 dialek bahasa.
2) Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis.
Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di Nusantara adalah agama Islam,
Kristcn, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada
masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama resmi negara, tctapi sejak
pcmerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara
dihapuskan.
3) Kebudayaan: adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang
secara kolcktit digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan
dan memahanii lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan
atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda
kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
4) Bahasa: merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain.
Bahasa dipa! ami sebagai sistem pcrlambang yang secara arbitrcr dibentuk
alas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan yang digunakan sebagai sarana
berinteraksi antarmanusia.
Dari imsur-unsur identilas Nasional tersebut dapat diruinuskan pembagiannya menjadi 3 bagian scbagai berikul:
1) Identitas Fundamental, yaitu Pancasila yang merupakan Falsafah Bangsa, Dasar Negara, dan l.leologi Negara.
2) Identitas Instrumental, yang berisi UUD 1945 dan Tata Pcrundangannya,
Bahasa Indonesia, Lambang Ncgaia, Bcndcra Negara, Lagu Kebangsaan
“Indonesia Raya”.
3) Identitas Alamiah yang ineliputi Negara Kepulauan (archipelago} dan
pluralismc dalam suku. bahasa, budaya, seila agama dan kcpercayaan
(agama).
Keterkaitan Globalisasi dcngan Identitas Nasional
Adanya lira Globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia. Era Globalisasi tersebut man tidak man, suka tidak
suka telah datang dan menggeser nilai-nilai yang telah ada. Nilai-nilai
tcrscbul, ada yang bersifat positifada pula yang bcrsifat negatif. Semua
ini merupakan aneaman, tantangan. dan sekaligus sebagai peluang bagi
bangsa Indonesia iinluk bcrkrcasi dan bcrinovasi di scgala aspck
kehidupan.
Di era globalisasi, pergaulan antarbangsa semakin ketat. Batas
anlarnegara hampir tidak ada artinya, batas wilayah tidak lagi menjadi
penghalang. Di dalam pergaulan antarbangsa yang semakin kenlal ilu, akan
tcrjadi proses akulturasi, saling meniru, dan saling memcngaruhi di
antara budaya masing-masing. Adapun yang pcrlu dieermati dari proses
akulturasi tersebut, apakah dapat melunturkan lata nilai yang merupakan
jati diri bangsa Indonesia? Lunturnya tata nilai tersebut biasanya
ditandai oleh dua faktor, yaitu:
1) semakin menonjolnya sikap individualists, yaitu mengutamakan
kepentingan pribadi di atas kepentingan umum, hal ini bcrlcnlangan
dengan asas golong-royong; serta
2) semakin menonjolnya sikap materialises, yang bcrarti harkat dan
martabat kemaivjsiaan hanya diukur dari hasil atau kcbcrhasilan
scseorang dalam mcmperolch kckayaan. Hal ini bisa berakibat bagaimana
cara inemperolehnya menjadi tidak dipcrsoalkan lagi. Apabila hal ini
lerjadi, berarli etika dan moral telah dikesampingkan.
Arus informasi yang semakin pesat mcngakibatkan akses masyarakat terhadap
nilai-nilai asing yang negatif semakin besar. Apabila proses ini tidak segera dibcndung,
akan berakibat lebih serins ketika pada puncaknya masyarakat tidak bangga lagi pada
bangsa dan negaranya.
Pengaruh negatif akibat proses akulturasi tersebut dapat merongrong
nilai-nilai yang telah ada di dalam masyarakat. Jika semua ini tidak
dapat dibendung, akan mengganggu ketahanan di segala aspek kehidupan,
bahkan akan mengarah pad; kredibilitas sebuah ideologi. Untuk membendung
arus globalisasi yang sangat deras tersebut, harus diupayakan suatu
kondisi (konsepsi) agar ketahanan nasional dapat terjaga, yaitu dengan
cara merabangun sebuah konsep nasional isme kebangsaan yang mengarah
kepada konsep Identilas Nasional.
Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan masyarakat antara satu
ncgara dengan negara yang lain mcnjadi semakin tinggi. Dengan demikian,
kecenderungan munculnya kejahatan yang bersilat transnasional semakin
scring terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut, antara lain terkait dengan
masalah narkotiLa, pencucian uang (money laundering), peredaran dokumen
keimigrasian palsu, dan terorisme. Masalah-masalah tersebut berpengaruh
lerhadap nilai-nilai budaya bangsa yang selama ini dijunjung tinggi.
Hal ini ditunjukkan dengan semakin merajalelanya peredaran narkotika dan
psikotropika sehingga sangat merusak kepribadian dan moral bangsa,
khususnya bagi generasi penerus bangsa. Jika hal tersebut tidak dapat
dibendung, akan mengganggu terhadap ketahanan nasional di segala aspek
kehidupan, bahkan akan menyebabkan lunturnya nilai-nilai Identitas
Nasional.
Masalah integrasi nasional di Indonesia sangat kompleks dan
multidimensional. Untuk mewujudkannya, diperlukan keadilan dalam
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras,
suku, agama, bahasa, dan sebagainya. Sebenarnya, upaya mcmbangun
keadilan, kesatuan, dan persatuan bangsa merupakan bagian dari upaya
membangun dan membina stabilitas politik. Di samping itu, upaya lainnya
dapat dilakukan, seperti banyaknya keterlibatan pemerintah dalam
mcncntukan komposisi dan rnckanisme parlemen.
Dengan demikian, upaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap
perlu terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang
diinginkan. Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu
karena pada hakikatnya integrasi nasional menunjukkan kckuatan
persatuan dan kesaluan bangsa yang diinginkan. Pada akhirnya, persatuan
dan kesatuan bangsa inilah yang dapat lebih menjamin terwujudnya negara
yang makmur, aman. clan tcntcram. Konflik yang terjadi di Aceh, Ambon,
Kalimantan Barat, dan Papua mcrupakan ccrmin belum terwujudnya integrasi
nasional yang diharapkan. Adapun kctcrkaitan integrasi nasional dengan
Identitas Nasional adalah bahwa adanya integrasi nasional dapat
menguatkan akar dari Identitas Nasional yang sedang dibangun.
Dalam perkembangan peradaban manusia, interaksi sesama manusia berubah
menjadi bentuk yang Icbih komplcks dan rumit. Hal ini dimulai dari
tumbuhnya kesadaran untuk menentukan nasib scndiri. Di kalangan
bangsa-bangsa yang tcrtindas kolonialisme, scperti Indonesia salah
satunya, lahir semangat untuk mandiri dan bebas untuk menentukan masa
depannya scndiri. Dalam situasi perjuangan kemerdekaan dari kolonialisme
ini, dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar pernbenaran rasional dari
tuntutan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat
keikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pcmbcnaran
tersebut, selanjutnya mengkristal dalam konsep paham ideologi kebangsaan
yang biasa disebut dengan nasionalisme. Dari sinilah, lahir
konsep-konsep turunannya seperti bangsa (nation), negara (state), dan
gabungan keduanya yang menjadi konsep negara bangsa (nation state)
sebagai komponsn-komponen yang membentuk Identitas Nasional atau
Kebangsaan. Dalam konteks ini, dapat dikalakan bahwa Paham Nusionalismc a
fan Paham Kebangsaan adalah sebuah situasi kcjiwaan kctika kcsctiaan
scscorang sccara total diabdikan langsung pada negara bangsa atas nama
sebuah bangsa. Munculnya nasionalisme terbukti sangat efektif sebagai
alat perjuangan bersama mcrebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial.
Semangat nasionalisme diharapkan secara cfcktif dapat dipakai sebagai
metode perlawanan dan alat idcntifikasi olch para penganutnya untuk
mengetahui siapa lawan dan kawan.
Secara garis bcsar terdapat tiga pemikiran besar tentang nasionalisme
di Indonesia yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan, yaitu paham
keislaman, Marxisme, dan Nasionalisme Indonesia. Seiring dcngan naiknya
pamor Soekarno ketika menjadi Presiden Pertarna RI, kecurigaan di antara
para tokoh pergerakan-yang telah tumbuh di saat-saat menjclang
kemerdekaan—berkcmbang menjadi pola ketegangan politik yang lebih
permancn antara negara mclalui figur nasionalis Soekarno di satu sisi,
dengan para tokoh yang nicwakili pemikiran Islam (sebagai agama terbesar
pemeluknya di Indonesia) dan Marxisme di sisi yang lain.
Paham Nasionalisme Kcbangsaan sebagai Paham yang Mengaritarkan pada Konsep Identitas Nasional
Paham Nasionalisme atau paham Kcbangsaan tcrhukti sangat efektif sebagai
alal perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial.
Scmangat nasionalismc dipakai sebagai metode perlawanan secara cfektif
oleh para penganutnya, sebagaimana yang disampaikan oleh Larry Diamond
dan Marc F. Plattner bahwa para penganut nasionalisme dunia ketiga
secara khas menggunakan retorika antikolonialisme dan antiimperalisme.
Para pengikut nasionalisme tersebut berkeyakinan bahwa persamaan
cita-cita yang mereka miliki dapat diwujudkan dalam sebuah identitas
politik atau kepentingan bersama dalam bcntuk sebuah wadah yang disebut
bangsa (nation). Dengan demikian, bangsa atau nation mcrupakan sualu
wadah yang di dalamnya terhimpun orang-orang yang mcmpunyai persamaan
keyakinan dan persamaan lainnya yang mereka miliki, seperti ras, etnis,
agania, bahasa, dan budaya. Unsur. persamaan tersebut dapat dijadikan
sebagai identitas politik bersama atau untuk menentukan tujuan
organisasi politik yang dibangun berdasarkan geopolitik yang terdiri
alas populasi, geografis, dan pemcrintahan yang pennanen yang disebut
negara atau state.
Nation state atau negara bangsa merupakan sebuah bangsa yang mcmiliki
bangunan polilik (polilical building), seperli ketentuan-kelentuan
perbatasan teritorial, pemerintahan yang sah, pcngakuan luar negeri, dan
sebagainya. Munculnya paham nasionalisme atau paham kebangsaan
Indonesia lidak bisa dilepaskan dari situasi sosial politik dekade
pertama abad ke-20. Pada waktu itu semangat menenlang kolonialisme
Belanda mulai bermunculan di kalangan pribumi. Cita-cita bersama untuk
merebut kemerdekaan menjadi semangat umum di kalangan tokoh-lokoh
pergerakan nasioi al. Kemudian, semangat tersebut diformulasikan dalam
bentuk nasionalisme yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Menurut penganutnya, paham nasionalisme di Indonesia yang disampaikan
oleh Soekarno bukanlah nasionalisme yang berwatak sempit, sekadar
meniru dari Barat, atau berwatak chauvinism. Nasionalisme yang
dikembangkan Soekarno bersifat toleran, bercorak ketimuran, clan tidak
agrcsif sebagaimana nasionalisme yang dikembangkan t.i Eropa. Selain
itu, Soekarno mengungkapkan keyakinan watak nasionalisme yang penuh
nilai-nilai kemanusiaan, juga meyakinkan pihak-pihak yang berseberangan
pandanga’i bahwa kelompok nasional dapat bekerja sama dengan kelompok
mana pun, baik golongan Islam maupun Marxis. Sckalipun Soekarno seorang
Muslim, tetapi tidak sckadar mcndasarkan pada pcrjuangan Islam,
menurutnya kebijakan ini merupakan pilihan torbaik bagi kemerdckaan
ataupun bagi masa depan seluruh bangsa Indonesia. Semangat nasionalisme
Soekarno tersebut mendapat respon dan dukungan luas dari kalangan
intclektual muda didikan Barat, semisal Syahrir dan Mohammad Hatta.
Kemudian, paham ini scmakin bcrkembang paradigmanya hingga sekarang
dengan munculnya konscp Identitas Nasional. Schubungan dengan ini, bisa
dikatakan bahwa Paham Nasionalisme atau Kebangsaan di sini adalah
merupakan refleksi dari Identitas Nasional.
Walaupun demikinan, ada yang perlu diperhatikan di sini, yakni adanya
perdebatan panjang tentang paham nasionalisme kebangsaan ketika para,
founding father bangsa ini mempunyai kesepakatan perlunya paham
nasionalisme kebangsaan, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai masalah
nilai atau watak nasionalisme Indonesia.
Revitalisasi Pancasila scbagaimana manifestasi Identitas Nasional pada
gilirannya harus diarahkan pula pada pcmbinaan dan pengcmbangan moral.
Dengan dccmikian, moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah
dalam upaya untuk mengatasi krisis dan disintegrasi yang ccnderung
sudali menyentuh ke semua segi dan sendi kehidupan. Pcrlu disadari bahwa
moralitas Pancasila akan menjadi tanpa makna dan hanya menjadi sebuah
“karikatur” apabila tidak disertai dukungan suasana kehidupan di bidang
hukum secara kondusif. Antara moralitas dan hukum memang terdapat
kcrelasi yang sangat erat. Artinya, moralitas yang tidak didukung oleh
kchidupan hukum yang kondusif akan menjadi subjeklivitas yang satu sama
lain akan saling berbenturan. Scbaliknya, ketentuan hukum yang disusun
tanpa disertai dasar dan alasan moral, akan melahirkan suatu legalisme
yang represif, kontra produktif, dan bcrtcntangan dengan nilai- nilai
Pancasila itu sendiri.
Dalam merevitalisasi Pancasila sebagai manifestasi Identitas Nasional, penyeienggaraan MPK. hendaknya dikaitkan dengan wawasan:
1) Spiritual, untuk mcletakkan landasan ctik, moral, religiusiias, sebagai dasar dan arah pengembangan sesuatu profcsi;
2) Akademis, untuk menunjukkan bahwa MPK merupakan aspek being yang
tidak kalah pentingnya, bahkan lebih penting daripada aspek having dalam
kerangka penyiapan
sumber daya manusia (SDM) yang bukan sekadar instrumen, melainkan sebagai subjek pembaharuan dan pencerahan;
3) Kebangsaan, untuk menumbuhkan kesadaran nasionalismenya agar dalam
pergaulan antarbangsa tetap setia pada kepentingan bangsanya, serta
bangga dan respek pada jati diri bangsanya yang memiliki ideologi
tersendiri; serta
4) Mondial, untuk menyadarkan bahwa manusia dan bangsa di masa kini siap
menghadapi dialektika perkembangan dalam masyarakat dunia yang
“terbuka”. Selain itu, diharapkan mampu untuk segera beradaptasi dengan
perubahan yang terus-menerus terjadi dengan cepat. Di samping itu, juga
mampu mencari jalan keluer sendiri dalam mengatasi setiap tantangan yang
dihadapi. Sehubungan dengan kondisi ini, dampak dan pengaruh
perkembangan iptek yang bukan lagi hanya sekadar p?da sarana, melainkan
telah menjadi sesuatu yang substantif, yang dapat menjadi tantangan dan
peluang untuk berkarya dalam kehidupan umat manusia.
Dalam rangka pemberdayaan Identitas Nasional, perlu ditempuh dengan
melalui revitalisasi Pancasila. Revitalisasi sebagai manifestasi
Identitas Nasional mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan
dalam keutuhannya dengan Pembukaan, serta dieksplorasikan
dimensi-dimensi yang melekat padanya, yang meliputi:
1) Realitas, dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
dikonsentrasikan sebagai cerminan kondisi objektif yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat kampus utamanya; suatu rangkaian nilai-nilai
yang bersifat sein im sollen dan das sollen im sein;
2) Idealitas, dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya
bukanlah sekadar utopis tanpa makna, melainkan diobjektivasikan sebagai
“kata kerja” untuk membangkitkan gairah dan optimisme warga masyarakat
agar melihat masa depan secara prospektif, serta menuju hari esok yang
lebih baik. Hal ini dapat dilakukan melalui seminar atau gerakan dengan
tema “Revitalisasi Pancasila”;
3) Fleksibilitas, dalam arti Pancasila bukanlah barang jadi yang
sudah selesai dan “tertutup”, atau menjadi sesuatu yang sakral,
melainkan terbuka bagi tafsir-tatsir barn untuk memenuhi kebutuhan zaman
yang terus-menerus berkembang. Dengan demikian, tanpa kehilangan nilai
hakikinya, Pancasila menjadi tetap aktual, rclevan, serta fungsional
sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan
jiwa dan semangat “Bhinncka Tunggal Ika”, sebagaimana yang telah
dikcmbangkan di Pusat Studi Pancasila (di UGM), Laboratorium Pancasila
(di Universitas Ncgeri Malang).
Dengan dcmikian, agar Idcntitas Nasional dapat dipahami oleh
masyarakat scbagai pcncrus tradisi nilai-nilai yang diwariskan oleh
nenek moyang, maka pemberdayaan nilai-nilai ajarannya harus bermakna,
dalam arti relevan dan fungsional bagi kondisi aktual yang sedang
berkembang dalam masyarakat. Perlu disadari bahwa umat manusia masa kini
hidup di abad XXI, yaitu zaman baru yang sarat dengan nilai-nilai baru
yang tidak saja berbeda, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai
lama sebagaimana diwariskan oleh nenck moyang dan dikembangkan para
pendiri negara ini. Abad XXI sebagai zaman baru mengandung arti sebagai
zaman ketika umat manusia semakin sadar untuk berpikir dan bertindak
secara baru.
Dengan kcmampuan rcfleksinya, manusia menjadikan rasio scbagai mitos,
atau sebagai sarana yang andal dalam bersikap dan bertindak dalam
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Kesahihan
tradisi, juga nilai-nilai spiritual yang dianggap sakral, kini dikritisi
dan dipertanyakan berdasarkan visi dan harapan tentang masa depan yang
lebih baik. Nilai-nilai budaya yang diajarkan oleh nenek moyang tidak
hanya diwarisi sebagai barang sudah “jadi” yang berhenti dalam kebekuan
normatif, tetapi harus diperjuangkan serta terus-menerus ditumbuhkan
dalam dimensi ruang dan waktu yang terns berkembang dan berubah.
Dalam kondisi kehidupan bcrmasyarakat dan berbangsa yang sedang
dilanda krisis dan disintcgrasi, Pancasila pun tidak tcrhindar dari
berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitas
dirinya sebagai dasar negara ataupun sebagai manifestasi Identitas
Nasional. Namun, pcrlu segera disadari bahwa tanpa suatu “platform”
dalam format dasar negara atau ideologi, mustahil suatu bangsa akan
dapat survive menghadapi berbagai tantangan dan ancaman yang menyertai
derasnya arus globalisasi yang melanda seluruh dunia.
Melalui revitalisasi Pancasila sebagai wujud pemberdayaan Identitas
Nasional inilah, Identitas Nasional dalam alur rasional-akadcmik tidak
saja diajarkan secara tekstual, tetapi juga segi konstckstualnya
dieksplorasikan scbagai refercnsi kritik sosial terhadap bcrbagai
pcnyimpangan yang melanda masyarakat dewasa ini. Untuk membentuk jati
diri, nilai-nilai yang ada terscbut harus digali dulu, misalnya
nilai-nilai againa yang datang dari Tuhan, serta nilai-nilai lainnya,
sepcrti gotong royong, persatuan dan kcsatuan, juga saling menghargai
dan menghormati. Semua nilai ini sangat bcrarti dalam mcmpcrkuat rasa
nasionalisme bangsa. Dengan adanya saling
pengertiari di antara satu dengan yang lain, secara langsung akan
memperlihatkan jati diri bangsa yang pada akhirnya mewujudkan Identitas
Nasional.
Sementara itu, untuk mengembangkan jati diri bangsa, harus dimulai
dari pengembangan nilai-nilai, yaitu nilai-nilai kejujuran, kcterbukaan,
berani mengambil resiko, bertanggung jawab, serta adanya kcsepakatan di
antara sesama. Untuk itu, perlu perjuangan dan ketekunan untuk
menyatukan nilai, cipta, rasa, dan karsa. (Soemarno, Soedarsono).
Di sinilah, letak arti pentingnya penyelenggaraan MPK dalam kerangka
pendidikan tinggi untuk mengembangkan dialog budaya dan budaya dialog
untuk mengantarkan lahirnya generasi penerus yang sadar dan terdidik
dengan wawasan nasional yang rnenjangkau jauh ke masa depan. MPK. harus
dimanfaatkan untuk mengembalikan Identitas Nasional bangsa, yang di
dalam pergaulan antarbangsa dahulu dikenal sebagai bangsa yang paling
“halus” atau sopan di bumi “het zachste volk ter aarde”.(W\bisor\o
Koento: 2005) Dari nilai-nilai budaya tersebut, lahir asumsi dasar bahwa
menjadi bangsa Indonesia tidak sekadar masalah kelahiran saja, tetapi
juga sebuah pilihan yang rasional dan emosional yang otonom.
DATA DAN FAKTA
Contoh masalah Identitas Nasional adalah:
Keunggulan
Pelaksanaan Unsur-
Unsur Identitas Nasional
Kekurangberhasilan
Pelaksanaan Unsur-Unsur
Identitas Nasional
Alasan Kurang
berhasilnya Pelaksanaan
Identitas Nasional
Identitas Funda¬mental:
-Tetap tercantum dalam UUD 1945 walaupun sudah diamandemen.
Identitas Instru¬mental:
- Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia
.Identitas Alamiah
- Kekayaan alam yang mclimpah
Baru dihayati pada tataran
kognitif
Implementasinya tidak
konsisten
Bangsa Indonesia belum menggunakan dengan baik dan benar
-Belum bisa mengoptimal-kan kekayaan alam yang ada
- Para pemimpin tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi rakyat
- Primordial yang masih tinggi
- Kualitas SDM yang rendah
KASUS DAN ILUSTRASI
Di bcbcrapa dacrah Indonesia pada masa Orde Lama (ORLA), Orde Baru
(ORBA), dan Orde Rcformasi pernah terjadi kasus tentang perbedaan
ras/suku/etnik, agama, bahasa, atau budaya yang membahayakan inlcgritas
nasional dan menyamarkan Identitas Nasional, di antaranya sebagai
berikut:
Alternatif Pemecahan agar
tidak tcrjadi/terulang
- Meningkatkan kerja sama bilateral dan internasional
- Memperkuat nilai-nilai ideologi
-Konflik dalam negeri jangan diintervensi oleh pihak asing
Nama dan Waktu Kasus
Tokoh/ Pimpinan
Latar Bclakang Kasus
Akibat dari Kasus Terscbut
Masa ORLA
-Konfrontasi dcngan Malaysia
- Ir. Soekarno
- Perebutan wilayah
- Kehilangan sebagian Kalimantan
Utara
Masa ORBA – Pemberontakan PKI
- Aidit
- Pcrubahan idcologi Pancasila
- Gugurnya pahlawan revolusi
menjadi Komunis
Masa Reform as i -Terlepasnya wilayah Timor -Timur
- B.J. Habibie
-Tuntutan Referendum
- Kehilangan wilayah Propivinsi Timor Timur
Identitas Nasional
I. Identitas Nasional Identitas berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas
yang melekat pada suatu hal sehingga menunjukkan suatu keunikkannya
serta membedakannya dengan hal-hal lain Nasional berasal dari kata
nasion yang memiliki arti bangsa, menunjukkan kesatuan komunitas
sosio-kultural tertentu yang memiliki semangat, cita-cita, tujuan serta
ideologi bersama. Jadi, Identitas Nasional Indonesia adalah ciri-ciri
atau sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Identitas Nasional Indonesia meliputi
segenap yang dimiliki bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa
lain seperti kondisi geografis, sumber kekayaan alam Indonesia,
demografi atau kependudukan Indonesia, ideolgi dan agama, politik
negara, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Identitas nasional pada
hakikatnya juga merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri
khas. Dengan ciri-ciri khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan
bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya. Diletakkan dalam konteks
Indonesia, maka Identitas Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai
budaya yang sudah tumbuh dan berkembang sebelum masuknya agama-agama
besar di bumi nusantara ini dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan
suku yang kemudian dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi
kebudayaan Nasional dengan acuan Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika
sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. II. Sumber Identitas Nasional Bangsa Indonesia 1. Dasar-dasar
negara Dasar negara yang merupakan key yang menyatukan bangsa Indonesia
yang beragam-ragam merupakan kesepakatan bersama yang menyatukan bangsa
Indonesia. Oleh sebab itu, dasar yang melandasi negara adalah merupakan
identitas nasional. Indonesia sebagai negara yang berdaulat memiliki
landasan fundamental yaitu Pancasila yang merupakan tujuan, dan pedoman
dalam berbangsa dan bertanah air di Indonesia, serta kunci dasar
pemersatu bangsa Indonesia. Landasan fundamental ini merupakan
nilai-nilai dasar kehidupan bagi bangsa Indonesia yang membedakannya
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia merupakan negara demokrasi
yang dalam pemerintahannya menganut sistem presidensiil, dan Pancasila
ini merupakan jiwa dari demokrasi. Demokrasi yang didasarkan atas lima
dasar tersebut dinamakan Demokrasi Pancasila. Dasar negara ini,
dinyatakan oleh Presiden Soekarno (Presiden Indonesia yang pertama)
dalam Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945.
Untuk menciptakan Indonesia yang dicita-citakan, bangsa Indonesia
memiliki dasar instrumental berupa UUD 1945, burung Garuda sebagai
lambang negara, bahasa Indonesia dan lagu kebangsaan. 2. Wilayah dan
Kondisi Geografis Dalam kemerdekaannya bangsa Indonesia menyatakan bahwa
wilayah negara kesatuan ini meliputi segenap wilayah bekas jajahan
Pemerintah Kolonial Belanda. Wilayah yang terbentang antara 6 derajat
garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97
derajat sampai 141 derajat garis bujur timur serta terletak antara dua
benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania diakui kedaulatannya oleh
Belanda sendiri dan dunia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka, berdaulat dan bersatu. Untuk mencapai semua itu, bangsa
ini mengalami perjalanan yang cukup panjang dan berat hingga akhirnya
saat ini, wilayah Indonesia dapat terlihat seperti pada peta berikut :
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai
17.508 pulau. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara
Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau
itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi1.9 juta mil persegi dengan
lima pulau besar di Indonesia adalah : Sumatera dengan luas 473.606 km
persegi, Jawa dengan luas 132.107 km persegi, Kalimantan (pulau terbesar
ketiga di dunia) dengan luas 539.460 km persegi, Sulawesi dengan luas
189.216 km persegi, dan Papua dengan luas 421.981 km persegi. 3. Politik
Indonesia Indonesia adalah negara demokrasi Pancasila. Segala sesuatu
di Indonesia diatur dan dimusyawarahkan secara mufakat, hikmat dan
kebijaksanaan. Perpolitikan di Indonesia berlandaskan nilai-nilai
Pancasila. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem
politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh
sebuah lembaga bernama Majelis
Permusyawatan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang
anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang
anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap
daerah diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di
daerahnya masingmasing. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah
lembaga tertinggi negara. Keanggotaan MPR berubah setelah Amandeman UUD
1945 pada periode 19992004. Seluruh anggota MPR adalah anggota DPR
ditambah anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Sebelumnya, anggota MPR
adalah seluruh anggota DPR ditambah utusan golongan. Anggota MPR saat
ini terdiri dari 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD. Anggota DPR dan
DPD dipilih melalui pemilu dan dilantik dalam masa jabatan lima tahun.
Sejak 2004, MPR adalah sebuah parlemen bikameral, setelah terciptanya
DPD sebagai kamar kedua. Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil
presiden, dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidenstil
sehingga para menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak
mewakili partai politik yang ada di parlemen. Lembaga Yudikatif sejak
masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah
Agung, termasuk pengaturan administrasi para Hakim. Politik luar negeri
Indonesia seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945 adalah poltik bebas
aktif. Yang artinya Indonesia sebagai negara berdaulat memiliki konsep
politik luar negeri yang tidak terikat oleh negara manapun di dunia.
Artinya, Indonesia berhak menentukan sikapnya sendiri dalam perpolitikan
di dunia yang bebas aktif dan bertujuan untuk menjaga keamanan dunia.
Serta Indonesia mengatur urusan dalam negerinya tanpa campur tangan
asing. 4. Ideologi dan Agama Seperti yang di atur dalam UUD 1945, bahwa
negara Indonesia menjamin kebebasan beragama di dalam kehidupan warga
negara Indonesia. Masingmasing warga negara Indonesia berhak untuk
memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing dan menjalankan
peribadatan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing warga
negara Indonesia. Hak dalam hidup beragama di Indonesia dilindungi oleh
negara. Penduduk di Indonesia secara garis besar merupakan penganut dari
lima agama di antara lain islam, budha, hindu, katolik dan protestan
serta penganut kepercayaan lainnya seperti kong fu tsu. Mayoritas
penduduk Indonesia adalah beragama islam dan selebihnya adalah penganut
agama budha, hindu, katolik dan protestan serta aliran kepercayaan.
Dalam berideologi, masyarakat Indonesia berhak untuk memiliki ideologi
dan pandangan hidup. Akan tetapi, ideolgi bangsa Indonesia tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan kunci pemersatu
bangsa Indonesia.
5. Ekonomi Perekonomian bangsa Indonesia seperti diatur dalam UUD 1945
adalah ekonomi yang bersifat kerakyatan. Kekayaan alam dan segala hal
yang menyangkut hajat hidup orang banyak diatur oleh negara untuk
sebesar-besarnya digunakan demi mensejahterakan seluruh penduduk
Indonesia. Dalam perekonomiannya, dalam negara Indonesia terdapat tiga
bentuk badan usaha yaitu Badan Usaha Miliki Negara (BUMN), Badan Usaha
Miliki Swasta (BUMS) dan Koperasi. Jadi, bangsa Indonesia memiliki azas
perokonomian yang untuk kekayaan alam dan menyangkut hidup orang banyak
diatur oleh negara sedangkan bidang lainnya dijalankan oleh swasta dan
koperasi. 6. Pertahanan Keamanan Ciri khas dari bangsa Indonesia dalam
bidang ini adalah bahwa, pertahanan di Indonesia adalah pertahanan
rakyat semesta atau dikenal Hankamrata. Pertahanan di Indonesia bersifat
menyeluruh bagi masyarakat Indonesia. Apabila salah satu wilayah
Indonesia diserang, maka seluruh masyarak di Indonesia lah yang akan
mengamankan dan mempertahankannya. 7. Demografi Indonesia. Penduduk
Indonesia dapat dibagi secara garis besar dalam dua kelompok. Di bagian
barat Indonesia penduduknya kebanyakan adalah suku Melayu, sementara di
timur adalah suku Papua, yang mempunyai akar di kepulauan Melanesia.
Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari
kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal
daerah, misalnya Jawa, Sunda atau Batak. Bangsa Indonesia memiliki
banyak sekali suku dan budaya dan adat istiadat. Selain itu juga ada
penduduk pendatang yang jumlahnya minoritas di antaranya adalah Etnis
Tionghoa, India, dan Arab. Mereka sudah lama datang ke nusantara dengan
jalur perdagangan sejak abad ke 8 SM dan menetap menjadi bagian dari
Nusantara. Di Indonesia terdapat sekitar 3% populasi etnis Tionghoa.
Angka ini berbeda-beda karena hanya pada tahun 1930-an terakhir kalinya
pemerintah melakukan sensus dengan menggolong-golongkan masyarakat
Indonesia ke dalam suku bangsa dan keturunannya. Islam adalah agama
mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2% penduduk Indonesia, yang
menjadikan Indonesia negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.
Sisanya beragama Protestan (8,9%); Katolik (3%); Hindu (1,8%); Buddha
(0,8%); dan lain-lain (0,3%). Kebanyakan penduduk Indonesia bertutur
dalam bahasa daerah sebagai bahasa ibu, namun bahasa resmi Indonesia,
bahasa Indonesia, diajarkan di seluruh sekolah-sekolah di negara ini dan
dikuasai oleh hampir seluruh penduduk Indonesia.
III. Kondisi Identitas Bangsa Indonesia Saat Ini 1. Dalam perekonomian,
kekayaan alam saat ini banyak yang dikelola oleh asing. Pengelolaan ini
memberikan keuntungan yang sangat kecil sekali bagi bangsa Indonesia.
Tidak hanya di bidang pertambangan, bahkan lahan perkebunan pun telah
mulai sedikit demi sedikit dikuasai oleh negara lain. Beberapa bidang
yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti air minum tidak lagi
sepenuhnya dikuasai oleh negara. Indonesia memiliki kekayaan alam yang
melimpah, namun pengelolahannya mayoritas dikuasai oleh asing. Pola
hidup masyarakat bangsa Indonesia saat ini merupakan pola kehidupan yang
mengagungkan produk asing. Masyarakat Indonesia saat ini lebih senang
apabila produk yang dikonsumsinya merupakan buatan luar negeri. 2. Dalam
kebudayaan, beberapa budaya, lagu dan tarian telah dicaplok oleh bangsa
lain. Kebudayaan batik, telah dipatenkan oleh Malaysia sebagai produk
budayanya, lagu, tarian, seni musik, serta bahkan makanan khas bangsa
Indonesia banyak yang dicaplok begitu saja oleh bangsa lain. Selain itu,
pola kehidupan generasi muda bangsa Indonesia saat ini telah luntur dan
bersifat kebarat-baratan. Tidak ada rasa kebanggaan lagi dalam
penggunaan bahasa Indonesia, bertata krama Indonesia. Kehidupan dan
kebudayaan yang berbau kebarat-baratan dianggap lebih tinggi statusnya
dan lebih modern. 3. Dalam bidang Geografi Indonesia memiliki banyak
pulau.17.508 pulau. Namun, penjagaan kesatuan wilayah ini serta rasa
memilikinya terasa sangat begitu kurang. Masih hangat di telinga bangsa
Indonesia, beberapa pulau di Indonesia telah dicaplok dan diakui sebagai
wilayah dari bangsa lainnya. Sedangkan ketegasan untuk
mempertahankannya sangat kurang sekali baik itu dari tingkatan
pemerintah maupun masyarakat Indonesia sendiri. IV. Kesimpulan Bangsa
Indonesia saat ini dalam keadaan rapuh akan sikap dan rasa memiliki jati
diri dan identitas bangsa. Kurang kesadaran akan Identitas Nasional
yang akibatnya tidak ada sikap dan rasa bangga menjadi bangsa Indonesia.
Hal yang penting adalah rasa memiliki identitas tersebut sehingga
apabila identitas kita dicaplok begitu saja, kita bangkit dan
mempertahankannya. Oleh sebab itu, Identitas Nasional ini perlu
dihidupkan kembali. V. Referensi
1.http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=11
2&Itemid=1722 (dilihat pada tanggal 21 Februari 2009)
2.http://id.shvoong.com/social-sciences/1747413-identitas-nasional-indonesia/
(dilihat pada tanggal 23 Februari 2009)
3.http://64.203.71.11/kompas-cetak/0608/24/Politikhukum/2901687.htm
(dilihat pada tanggal 25 Februari 2009) 4.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=181233 (dilihat pada
tanggal 25 Februari 2009)
Selama ini masyarakat Indonesia masih bingung dengan identitas
bangsanya. Agar dapat memahaminya, pertama-tama harus dipahami terlebih
dulu arti Identitas Nasional Indonesia. Identitas berarti ciri-ciri,
sifat-sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga menunjukkan suatu
keunikkannya serta membedakannya dengan hal-hal lain. Nasional berasal
dari kata nasion yang memiliki arti bangsa, menunjukkan kesatuan
komunitas sosio-kultural tertentu yang memiliki semangat, cita-cita,
tujuan serta ideologi bersama. Jadi, yang dimaksud dengan Identitas
Nasional Indonesia adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas bangsa
Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di
dunia.Uraiannya mencakup :1.identitas manusia Manusia merupakan makhluk
yang multidimensional, paradoksal dan monopluralistik. Keadaan manusia
yang multidimensional, paradoksal dan sekaligus monopluralistik tersebut
akan mempengaruhi eksistensinya. Eksistensi manusia selain dipengaruhi
keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianutnya atau
pedoman hidupnya. Pada akhirnya yang menentukan identitas manusia baik
secara individu maupun kolektif adalah perpaduan antara
keunikan-keunikan yang ada pada dirinya dengan implementasi nilai-nilai
yang dianutnya.2.identitas nasionalIdentitas nasional Indonesia bersifat
pluralistik (ada keanekaragaman) baik menyangkut sosiokultural atau
religiositas. – Identitas fundamental/ ideal = Pancasila yang merupakan
falsafah bangsa.- Identitas instrumental = identitas sebagai alat untuk
menciptakan Indonesia yang dicita-citakan. Alatnya berupa UUD 1945,
lambang negara, bahasa Indonesia, dan lagu kebangsaan.- Identitas
religiusitas = Indonesia pluralistik dalam agama dan kepercayaan.-
Identitas sosiokultural = Indonesia pluralistik dalam suku dan budaya.-
Identitas alamiah = Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia.3.Nasionalisme IndonesiaNasionalime merupakan situasi kejiwaan
dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara
bangsa. Nasionalisme sangat efektif sebagai alat merebut kemerdekaan
dari kolonial. Nasionalisme menurut Soekarno adalah bukan yang berwatak
chauvinisme, bersifat toleran, bercorak ketimuran, hendaknya dijiwai
oleh nilai-nilai Pancasila.4. Integratis NasionalMenurut Mahfud M.D
integrai nasional adalah pernyataan bagian-bagian yang berbeda dari
suatu masayarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih untuh , secara
sederhana memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya
menjadi suatu bangsa. Untuk mewujudkan integrasi nasional diperlukan
keadilan, kebijaksanaan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak
membersakan SAR. Ini perlu dikembangkan karena pada hakekatnya integrasi
nasional menunjukkan tingkat kuatnya kesatuan dan persatuan
bangsa.KesimpulanIdentitas Nasional Indonesia adalah sifat-sifat khas
bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama dan pulau-pulau
yang dipisahkan oleh lautan. Oleh karena itu, nilai-nilai yang dianut
masyarakatnya pun berbeda-beda. Nilai-nilai tersebut kemudian
disatupadukan dan diselaraskan dalam Pancasila. Nilai-nilai ini penting
karena merekalah yang mempengaruhi identitas bangsa. Oleh sebab itu,
nasionalisme dan integrasi nasional sangat penting untuk ditekankan pada
diri setiap warga Indonesia agar bangsa Indonesia tidak kehilangan
identitas.
Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah Dan Kaitannya Dengan Kemerdekaan RI
DASAR PEMIKIRAN.
Perkembangan globalisasi ditandai dengan kuatnya pengaruh
lembaga-Iembaga kemasyarakatan internasional, negara-negara maju yang
ikut mengatur percaturan perpolitikan, perekonomian, sosial budaya dan
pertahanan dan keamanan global. Kondisi ini akan menumbuhkan berbagai
konflik kepentingan, baik antar negara maju dengan negara-negara
berkembang maupun antar sesama negara berkembang serta lembaga-Iembaga
internasional. Disamping hal tersebut adanya issu global yang meliputi
demokratisasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup turut pula
mempengaruhi keadaan nasional.
Globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, khususnya di bidang informasi, komunikasi dan
trnasportasi, sehingga dunia menjadi transparan seolah-olah menjadi
kampung sedunia tanpa mengenal batas negara. Kondisi yang demikian
menciptakan struktur baru yaitu struktur global. Kondisi ini akan
mempengaruhi struktur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di Indonesia, serta akan mempengaruhi juga daiam berpola
pikir, sikap dan tindakan masyarakat Indonesia sehingga akan
mempengaruhi kondisi mental spiritual bangsa Indonesia.
Dari uraian tersebut di atas, bahwa semangat perjuangan bangsa yang
merupakan kekuatan mental spiritual yang melahirkan kekuatan yang luar
biasa dalam masa Perjuangan Fisik. Dalam menghadapi globalisasi dan
menatap masa depan untuk mengisi kemerdekaan diperlukan Perjuangan Non
Fisik sesuai dengan bidang tugas dan profesi masing-masing yang
dilandasi nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia, sehingga memiliki
wawasan dan kesadaran bernegara, sikap dan perilaku yang cinta tanah air
dan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka bela negara
demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka Perjuangan Non Fisik sesuai bidang tugas dan profesi
masing-¬masing wawasan atau cara pandang bangsa Indonesia yaitu wawasan
kebangsaan atau Wawasan Nasional yang diberi nama Wawasan Nusantara
adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan
lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai dan
menghormati kebhinekaan dari setiap aspek kehidupan bangsa untuk
mencapai tujuan nasional. Sedang hakekat Wawasan Nusantara adalah
keutuhan Nusantara atau Nasional dengan pengertian cara Pandang yang
selalu utuh menyeluruh dalam lingkup Nusantara dan demi kepentingan
nasional.
Atas dasar pemikiran dari perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia
yang mengandung nilai-nilai semangat perjuangan yang dilaksanakan
dengan perjuangan Fisik dan wawasan Nusantara yang merupakan pancaran
nilai dari ideoiogi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia,
sehingga dalam mengisi kemerdekaan diperlukan Perjuangan Non Fisik
sesuai bidang tugas dan profesi masing-masing dj dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai cita-cila dan
tujuan nasional.
Dengan demikian anak-anak bangsa sebagai generasi penerus akan memiliki
pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang tercermin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta tidak akan mengarah ke
disintegrasi bangsa, karena hanya ada satu Indonesia yaitu NKRI adalah
SATU INDONESIA SATU.
Kesukubangsaan, Nasionalisme dan Multikulturalisme[1]
Achmad Fedyani Saifuddin
Guru Besar Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta
I
Pembicaraan mengenai nasionalisme dan multikulturalisme bersifat
posteriori karena beberapa konsep harus dibicarakan lebih dahulu sebelum
membahas isyu tersebut. Menurut pendapat saya–dalam hal ini tentu
banyak diwarnai oleh pemikiran antropologi — konsep-konsep yang harus
dibicarakan lebih dahulu setidak-tidaknya adalah sukubangsa,
kesukubangsaan, bangsa, negara-bangsa, dan kebangsaan. Semenjak lama
kajian antropologi mengenai kesukubangsaan memusatkan perhatian pada
hubungan-hubungan antar kelompok yang kelompok-kelompok tersebut
dianggap memiliki “ukuran sedemikian” sehingga memungkinkan dikaji
melalui penelitian lapangan tradisional seperti pengamatan terlibat,
wawancara pribadi, maupun survei dalam pengertian tertentu. Fokus
empiris kajian antropologi nyaris merupakan kajian komunitas lokal.
Apabila negara dibicarakan dalam hal ini, maka negara ditempatkan
sebagai bagian dari konteks yang lebih luas, misalnya sebagai “agen
luar” (external agent) yang mempengaruhi kondisi-kondisi lokal. Selain
itu, antropologi masa lampau kerapkali bias terhadap kajian “the
others”. Istilah-istilah seperti “masyarakat primitif”, “masyarakat
belum beradab”, “masyarakat sederhana” dan lainnya jelas menunjukkan
bagaimana para antropolog Barat pada akhir abad 19 hingga pertengahan
abad ke 20 memandang dan menyebut masyarakat asing (“the others”) yang
di hadapinya di lapangan .
Pergeseran peristilahan dari “suku bangsa” menjadi “kelompok etnik”
(ethnic groups) merelatifkan dikotomi “kita”/”mereka”, karena istilah
“kelompok etnik”, berbeda dari “sukubangsa”, berada atau hadir di dalam
“kita” (“self”) sekaligus “orang lain/mereka” (“others”). Mekanisme
batas (boundary mechanism) yang menyebabkan kelompok etnik tetap
kurang-lebih distinktif atau diskret memiliki karakteristik formal yang
sama di kota-kota metropolitan seperti Jakarta maupun di daerah
pedalaman pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, dan perkembangan
identitas etnik dapat dipelajari dengan peralatan konseptual yang sama
di Indonesia maupun di negeri-negeri lain, meski pun konteks-konteks
empirisnya berbeda-beda atau mungkin unik. Pada masa kini, kalangan
antropologi sosial mengakui bahwa mungkin sebagian besar peneliti kini
mempelajari sistem-sistem kompleks yang “unbounded” daripada
komunitas-komunitas yang “terisolasi”.
Kebangsaan atau nasionalisme adalah topik baru dalam antropologi.
Kajian tentang nasionalisme – ideologi negara-bangsa modern—sejak lama
adalah topik pembicaraan ilmu politik, sosiologi makro dan sejarah.
Bangsa (nation) dan ideologi kebangsaan adalah fenomena modern berskala
besar. Meski pun kajian mengenai nasionalisme memunculkan
masalah-masalah metodologi yang baru yang berkaitan dengan skala dan
kesukaran mengisolasi satuan-satuan penelitian, masalah-masalah ini
justru mengkait dengan topik-topik lain. Perubahan sosial telah terjadi
di wilayah sentral kajian antropologi, yang mengintegrasikan jutaan
orang ke dalam pasar dan negara. Perhatian antropologi terhadap
nasionalisme justru menempuh jalur yang berbeda dari ilmu politik yang
sejak awal menempatkan negara sebagai pusat kajian. Antropologi, sejalan
dengan tradisi teorinya yang menempatkan evolusi sebagai premis dasar
memposisikan negara sebagai bagian dari pembicaraan mengenai evolusi
masyarakat dari sederhana ke kompleks (modern). Dalam hal ini negara
menjadi bagian dari pembicaraan tentang proses masyarakat mengkota
(urbanizing) sebagai akibat proses evolusi dari masyarakat sederhana
(d/h masyarakat primitif). Dengan kata lain, negara adalah suatu
institusi yang merupakan konsekuensi dari evolusi masyarakat tersebut,
suatu pengorganisasian yang tumpang-tindih dengan institusi kekerabatan
pada masyarakat sederhana pada masa lampau. (Cohen 1985). Secara
metodologi, seperti halnya kita yang hidup pada masa kini, dan disini,
informan penelitian antropologi adalah warga negara. Selanjutnya,
masyarakat primitif mungkin tak terisolasi seperti pada masa lampau,
sehingga kini tak lagi “lebih asli” atau “lebih murni” daripada
masyarakat kita kini .
Para antropolog sejak lama berupaya mengangkat kasus-kasus pada
tingkatan mikro, sebagaimana tercermin dari masyarakat sederhana (d/h
primitif) yang berskala kecil, populasi kecil, hidup di suatu lingkungan
yang relatif terisolasi, dan memiliki kebudayaan yang relatif homogen,
ke tingkatan abstraksi yang bersifat makro, sehingga mampu menjelaskan
gejala yang sama di berbagai tempat di dunia. Meski demikian, upaya ini
tidak mudah diwujudkan terlebih ketika antropolog masa kini semakin
cenderung menyukai keanekaragaman dalam paradigma berfikir
konstruktivisme yang kini berkembang, seolah paradigma relativisme
kebudayaan yang berakar pada tradisi antropologi masa lampau memperoleh
tempat baru pada masa kini (Saifuddin 2005)
Dalam terminologi klasik antropologi sosial, konsep “bangsa” (nation)
digunakan secara kurang akurat untuk menggambarkan kategori-kategori
besar orang atau masyarakat dengan kebudayaan yang kurang lebih seragam.
I.M. Lewis (1985: 287), misalnya, mengatakan bahwa :”Istilah bangsa
(nation), mengikuti arus pemikiran dominan dalam antropologi, adalah
satuan kebudayaan.” Selanjutnya Lewis memperjelas bahwa tidak perlu
membedakan antara “sukubangsa” (tribes), “kelompok etnik” (ethnic
groups), dan “bangsa” (nation) karena perbedaannya hanya dalam ukuran,
bukan komposisi struktural atau fungsinya. “Apakah segmen-segmen yang
lebih kecil ini berbeda secara signifikan? Jawabannya adalah bahwa
segmen-segmen tersebut tidaklah berbeda; karena hanya merupakan satuan
yang lebih kecil dari satuan yang lebih besar yang memiliki ciri yang
sama….” (Lewis 1985: 358).
Dalam terminologi masa kini, ketika argumentasi homogenitas semakin
sukar dipertahankan, maka pembedaan bangsa dan kategori etnik menjadi
semakin penting karena keterkaitannya dengan negara modern. Lagi pula,
suatu negara yang isinya adalah suatu kategori etnik semakin langka
adanya. Dengan kata lain, suatu perspektif antropologi menjadi esensil
bagi pemahaman secara menyeluruh mengenai nasionalisme. Suatu fokus yang
bersifat analitis dan empiris mengenai nasionalisme dalam penelitian
modernisasi dan perubahan sosial, menjadi penting dan sangat relevan
dengan lapangan kajian yang lebih luas dari antropologi politik dan
kajian mengenai identitas sosial.
Barangkali penting merujuk pandangan Ernest Gellner (1983) tentang
nasionalisme: “Nasionalisme adalah prinsip politik, yang berarti bahwa
satuan nasion harus sejalan dengan satuan politik. Nasionalisme sebagai
sentimen, atau sebagai gerakan, paling tepat didefinisikan dalam konteks
prinsip ini. Sentimen nasionalis adalah rasa marah yang timbul akibat
pelanggaran prinsip ini, atau rasa puas karena prinsip ini dijalankan
dengan baik. Gerakan nasionalis diaktualisasikan oleh sentimen semacam
ini” (hal. 1). Pandangan Gellner tentang nasionalisme ini lebih pas
untuk konteks negara-bangsa (nation state). Hal ini tercermin dari
konsep “satuan nasion” yang terkandung dalam kutipan di atas. Nampaknya
Gellner masih memandang “satuan nasion” sama dengan kelompok etnik –
atau setidak-tidaknya suatu kelompok etnik yang diklaim keberadaannya
oleh para nasionalis :” Ringkas kata, nasionalisme adalah suatu teori
legitimasi politik, yakni bahwa batas-batas etnik tidak harus
berpotongan dengan batas-batas politik” (Gellner 1983: 1). Dengan kata
lain, nasionalisme, menurut pandangan Gellner, merujuk kepada
keterkaitan antara etnisitas dan negara. Nasionalisme, menurut pandangan
ini, adalah ideologi etnik yang dipelihara sedemikian sehingga kelompok
etnik ini mendominasi suatu negara. Negara-bangsa dengan sendirinya
adalah negara yang didominasi oleh suatu kelompok etnik, yang penanda
identitasnya –seperti bahasa atau agama—kerapkali terkandung dalam
simbolisme resmi dan institusi perundang-undangannya.
Tokoh lain yang dikenal dengan gagasan teoretisnya tentang
nasionalisme, khususnya Indonesia, adalah Benedict Anderson (1991[1983]:
6) yang mendefinisikan nasion sebagai “an imagined political community”
– dan dibayangkan baik terbatas secara inheren maupun berdaulat. Kata
“imagined” di sini lebih berarti “orang-orang yang mendefinisikan diri
mereka sebagai anggota suatu nasion, meski mereka “tak pernah mengenal,
bertemu, atau bahkan mendengar tentang warga negara yang lain, namun
dalam fikiran mereka hidup suatu citra (image) mengenai kesatuan
komunion bersama” (hal. 6). Jadi, berbeda dari pendapat Gellner yang
lebih memusatkan perhatian pada aspek politik dari nasionalisme,
Anderson lebih suka memahami kekuatan dan persistensi identitas dan
sentimen nasional. Fakta bahwa banyak orang yang rela mati membela
bangsa menunjukkan adanya kekuatan yang luar biasa itu.
Meski Gellner dan Anderson memusatkan perhatian pada tema yang
berbeda, prinsip politik dan sentimen identitas, keduanya sesungguhnya
saling mendukung. Keduanya menekankan bahwa bangsa adalah konstruksi
ideologi demi untuk menemukan keterkaitan antara kelompok kebudayaan
(sebagaimana didefinisikan warga masyarakat yang bersangkutan) dan
negara, dan bahwa mereka menciptakan komunitas abstrak (abstract
communities) dari keteraturan yang berbeda dari negara dinasti atau
komunitas berbasis kekerabatan yang menjadi sasaran perhatian
antropologi masa lampau.
Anderson sendiri berupaya memberikan penjelasan terhadap apa yang
disebut “anomali nasionalisme”. Menurut pandangan Marxis dan teori-teori
sosial liberal tentang modernisasi, nasionalisme seharusnya tidak lagi
relevan di dunia individualis pasca Pencerahan, karena nasionalisme itu
berbau kesetiaan primodial dan solidaritas yang berbasis asal-usul dan
kebudayaan yang sama. Maka, kalau kita kini menyaksikan “goyahnya”
nasionalisme di Indonesia, hal ini mungkin disebabkan antara lain oleh
masuk dan berkembangnya pemikiran liberal dalam ilmu-ilmu sosial di
Indonesia, dan menjadi bagian dari cara ilmu-ilmu sosial memikirkan
negara-bangsa dan nasionalisme kita sendiri.
Kajian antropologi mengenai batas-batas etnik dan proses identitas
mungkin dapat membantu memecahkan problematika Anderson. Penelitian
tentang pembentukan identitas etnik dan dipertahankannya identitas etnik
cenderung menjadi paling penting dalam situasi-situasi tak menentu,
perubahan, persaingan memperoleh sumberdaya, dan ancaman terhadap
batas-batas tersebut. Maka tak mengherankan bahwa gerakan-gerakan
politik yang berdasarkan identitas kebudayaan kuat dalam masyarakat yang
tengah mengalami modernisasi, meski pun hal ini tidaklah berarti bahwa
gerakan-gerakan tersebut menjadi gerakan-gerakan nasionalis.
II
Titik temu antara teori-teori nasionalisme dan etnisitas perlu
disinggung di sini. Menurut hemat saya, baik Gellner maupun Anderson
tidak berupaya menemukan titik temu tersebut; kedua pandangan teori
mereka dikembangkan sendiri-sendiri. Baik kajian etnisitas di tingkat
komunitas lokal maupun kajian nasionalisme di tingkat negara menegaskan
bahwa identitas etnik maupun nasional adalah konstruksi. Berarti kedua
identitas tersebut bukan alamiah. Selanjutnya, jalinan hubungan antara
identitas khusus dan “kebudayaan” bukanlah hubungan satu per satu.
Asumsi-asumsi titik temu yang tersebar luas antara etnisitas dan
“kebudayaan obyektif” adalah kasus yang terpancarkan dari konstruksi
kebudayaan itu sendiri. “Berbicara tentang kebudayaan” dan “kebudayaan”
dapat dibedakan ibarat kita berbicara tentang perbedaan antara menu dan
makanan. Keduanya adalah fakta sosial dengan keteraturan yang berbeda.
Tatkala kita menyoroti nasionalisme, jalinan hubungan antara
organisasi etnik dan identitas etnik sebagaimana didiskusikan sebelumnya
menjadi lebih jelas. Menurut nasionalisme, organisasi politik
seharusnya bersifat etnik karena organisasi ini merepresentasikan
kepentingan-kepentingan kelompok etnik tertentu. Sebaliknya,
negara-bangsa mengandung aspek penting dari legitimasi politik yakni
dukungan massa yang sebenarnya merepresentasikan sebagai suatu satuan
kebudayaan.
Di dalam antropologi dapat kita temukan juga teori-teori tentang
simbol-simbol ritual yang dalam konteks pembicaraan ini juga
menggambarkan dualitas antara makna dan politik, yang umum kita temukan
baik dalam kajian etnisitas maupun kajian nasionalisme. Menyitir Victor
Turner (1969 : 108) :”simbol-simbol itu multivokal karena memiliki kutub
instrumental dan sensoris (makna)”. Itulah sebabnya, pendapat Turner
ini relevan dengan apa yang dikemukakan Anderson (1991) bahwa
nasionalisme memperoleh kekuatannya dari kombinasi legitimasi politik
dan kekuatan emosional. Sejalan dengan hal di atas, seorang ahli
antropologi lain, Abner Cohen (1974) mengemukakan bahwa politik tidak
dapat sepenuhnya instrumental, melainkan harus selalu melibatkan
simbol-simbol yang mengandung kekuatan untuk menciptakan loyalitas dan
rasa memiliki. Para antropolog yang mengkaji nasionalisme umumnya
memandang isyu ini sebagai varian dari etnisitas. Tentu saja dapat
muncul pertanyaan bahwa kalau nasionalisme dibicarakan dalam atau
sebagai bagian dari etnisitas, dan nasionalisme yang berbasis etnisitas
itu imaginable – kalau kita mengikuti pandangan Anderson – maka
bagaimana dengan nasionalisme yang dibangun tidak berdasarkan etnik ?
Apakah untuk kasus ini juga imaginable ?
Para pengkaji nasionalisme menekankan aspek-aspek modern dan abstrak.
Perspektif antropologis khususnya penting di sini karena para
antropolog lebih suka mengetengahkan karakter nasionalsme dan
negara-bangsa yang khusus dan unik melalui pembandingan-pembandingan
dengan, atau pemikiran yang berakar pada masyarakat yang berskala kecil.
Dalam perspektif ini, bangsa (nation) dan ideologi nasionalis
setidak-tidaknya nampak sebagai “peralatan” simbolik bagi kelas-kelas
yang berkuasa dalam masyarakat, yang tanpa peralatan simbolik itu bangsa
rentan terancam perpecahan. Sebagian ahli berpendapat bahwa
nasionalisme dan komunitas nasional dapat memiliki akar yang kuat dalam
komunitas etnik sebelumnya atau ethnies (A.D. Smith 1986), tetapi
niscaya kurang tepat untuk mengklaim bahwa kesinambungan masyarakat
komunitas pra-modern atau “kebudayaan etnik” menjadi nasional terjaga
dengan baik. Contoh Norwegia menunjukkan bahwa tradisi dan simbol-simbol
nasional lainnya memiliki makna yang sangat berbeda dalam konteks
modern dibandingkan makna pada masa lampau (A.D.Smith 1986).
III
Multikulturalisme: Penguatan Politik dan Sentimen Kebangsaan Negara-Bangsa
Seperti telah dikemukakan di atas, konsep negara dalam antropologi
adalah perluasan dari konsep-konsep sukubangsa, kelompok etnik,
etnisitas, yang pada setiap konsep tersebut konsep nasionalisme
menyelimuti sekaligus memberikan roh. Dalam konteks ini negara merupakan
suatu bentuk pengorganisasian warga masyarakat yang secara intrinsik
berasal dari sukubangsa atau kelompok etnik tersebut. Konsep
negara-bangsa (nation-state), misalnya, jelas sekali menunjukkan
orientasi pemikiran antropologi ini.
Dipandang dari perspektif ini, nasionalisme yang sukses ditentukan
oleh keterjalinan ideologi etnik dengan aparatus negara. Negara-bangsa,
seperti halnya banyak sistem politik lain, memandang pentingnya ideologi
bahwa batas-batas politik harus saling mendukung dengan batas-batas
kebudayaan. Selanjutnya, negara-bangsaa memiliki monopoli atas keabsahan
untuk memungut pajak, dan bahwa tindakan kekerasan terhadap warga yang
dianggap menyimpang dari kehendak negara. Monopoli ini adalah sumber
kekuasaan yang paling penting. Negara bangsa memiliki administrasi
birokrasi dan undang-undang tertulis yang meliputi semua warga negara,
dan memiliki sistem pendidikan yang seragam di seluruh negeri, dan pasar
tenaga kerja yang sama bagi semua warga negara. Hampir semua
negara-bangsa di dunia memiliki bahasa nasional yang digunakan untuk
komunikasi resmi. Suatu ciri yang khas dari negara bangsa adalah
konsentrasi kekuasaan yang luarbiasa. Cukup jelas bahwa Indonesia adalah
salah satu contoh negara-bangsa.
Negara Bangsa dan Multikulturalime
Dari pembicaraan kita tentang perspektif antropologi mengenai
nasionalisme dan negara di atas, dapatlah dikemukakan bahwa
negara-bangsa Indonesia kini menghadapi tantangan-tantangan besar, yang
apabila kita tak berhasil menghadapi dan menaklukkan tantangan tersebut,
dapat diprediksi bahwa negara kesatuan Republik Indonesia ini akan
berakhir. Akan tetapi kalau kita memiliki kesepakatan dan komitemen
bahwa negara kesatuan ini adalah final, maka kita perlu memperhatikan
secara seksama tantangan-tantangan yang kita hadapi, dan tugas-tugas
yang harus kita laksanakan untuk menghadapinya. Banyak orang berpendapat
bahwa multikulturalisme merupakan alternatif yang paling tepat untuk
membangun kembali integrasi bangsa tersebut, meski belum ditemukan model
multikulturalisme seperti apa yang paling tepat untuk Indonesia.
Pendapat tersebut benar, karena pendekatan proses dalam
multikulturalisme lebih relevan untuk menjawab isyu kebangsaan dan
integrasi nasional yang kini dituntut mampu menjawab tantangan
perubahan.
Buku Sdr Mashudi Noorsalim (ed.) yang kini sedang kita bahas –
menurut hemat saya – mengandung empat persoalan besar (penulis
menyebutnya “dilematis”) berkaitan dengan isyu hak-hak minoritas dalam
kaitannya dengan multikulturalisme dan dilema negara bangsa.
1. Fakta keanekaragaman sukubangsa, ras, agama, dan golongan
sosial-ekonomi, semakin diperumit oleh faktor geografi Indonesia yang
kepulauan, penduduk yang tinggal terpisah-pisah satu sama lain,
mendorong potensi disintegrasi meningkat.
2. Premis antropologi bahwa nasionalisme dan negara seyogyanya
dibicarakan mulai dari akarnya, yakni mulai dari konsep-konsep
“sukubangsa”, “kelompok etnik”, dan “etnisitas”, jelas menunjukkan bahwa
apabila semangat nasionalisme luntur karena berbagai sebab, maka yang
tertinggal adalah semangat kesukubangsaan yang menguat. Dengan kata
lain, meningkatnya semangat primordial ( antara lain kesuku-bangsaan) di
tanah air akhir-akhir adalah indikasi melunturnya nasionalisme.
3. Hak-hak minoritas senantiasa melekat pada fakta pengaturan
keanekaragaman yang ada. Apabila pengaturan nasional berorientasi pada
kebijakan kebudayaan seragam dan sentralistis maka fakta pluralisme,
diferensiasi, dan hirarki masyarakat dan kebudayaan akan meningkat.
Dalam kondisi ini hak-hak minoritas akan terabaikan karena tertutup oleh
kebijakan negara yang terkonsentrasi pada kekuasaan sentralistis.
Namun, apabila pengaturan tersebut adalah demokratis dan/atau
multikuluralistis maka hak-hak minoritas akan semakin dihargai. Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa upaya membangun bangsa yang
multikultural itu berhadapan dengan tantangan berat, yaitu fakta
keenekaragaman yang luas dalam konteks geografi, populasi, sukubangsa,
agama, dan lainnya. Oleh karena itu membangun negara-bangsa yang
multikultural nampaknya harus dibarengi oleh politik pengaturan dan
sentimen kebangsaan yang kuat.
4. Perekat integrasi nasional yang selama ini terjadi seperti politik
penyeragaman nasional dan konsentrasi kekuasaan yang besar sesungguhnya
adalah hal yang lumrah dalam politik pemeliharaan negara bangsa. Namun,
mekanisme pengaturan nasional ini terganggu ketika seleksi global –
pernyataan saya ini dipengaruhi oleh prinsip alamiah proses seleksi alam
dalam evolusionisme – “tidak lagi menghendaki” (not favour) bentuk
negara-bangsa sebagai bentuk pengaturan nasional pada abad yang baru
ini. Kondisi negeri kita yang serba lemah di berbagai sektor mempermudah
kita menjadi rentan untuk “tidak lagi dikehendaki” dalam proses seleksi
global.
Identitas Nasional
Identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan
kesadaran diri pribadi, golongan sendiri, kelompok sendiri, atau negara
sendiri.
Nasional merupakan identitas yang melekat pada kelompok- kelompok yang
lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti
budaya, agama, dan bahasa maupun non fisik, seperti keinginan,cita-cita
dan tujuan. Jadi adapun pengertian identitas sendiri adalah ciri-ciri,
tanda-tanda, jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang
bisa membedakannya.
Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai
budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu
bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri khas tersebut, suatu
bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya.
Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka Identitas Nasional itu
merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh dan
berkembang sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini
dalam berbagai aspek kehidupan bdari ratusan suku yang kemudian dihimpun
dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan
Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah
pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selama ini masyarakat Indonesia masih bingung dengan identitas
bangsanya. Agar dapat memahaminya, pertama-tama harus dipahami terlebih
dulu arti Identitas Nasional Indonesia. Identitas berarti ciri-ciri,
sifat-sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga menunjukkan suatu
keunikkannya serta membedakannya dengan hal-hal lain.
Nasional berasal dari kata nasion yang memiliki arti bangsa, menunjukkan
kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang memiliki semangat,
cita-cita, tujuan serta ideologi bersama. Jadi, yang dimaksud dengan
Identitas Nasional Indonesia adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas
bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Uraiannya mencakup :
1. Identitas manusia Manusia merupakan makhluk yang multidimensional,
paradoksal dan monopluralistik. Keadaan manusia yang multidimensional,
paradoksal dan sekaligus monopluralistik tersebut akan mempengaruhi
eksistensinya. Eksistensi manusia selain dipengaruhi keadaan tersebut
juga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianutnya atau pedoman hidupnya.
Pada akhirnya yang menentukan identitas manusia baik secara individu
maupun kolektif adalah perpaduan antara keunikan-keunikan yang ada pada
dirinya dengan implementasi nilai-nilai yang dianutnya.
2. Identitas nasionalIdentitas nasional Indonesia bersifat pluralistik
(ada keanekaragaman) baik menyangkut sosiokultural atau religiositas. –
Identitas fundamental/ ideal = Pancasila yang merupakan falsafah
bangsa.- Identitas instrumental = identitas sebagai alat untuk
menciptakan Indonesia yang dicita-citakan. Alatnya berupa UUD 1945,
lambang negara, bahasa Indonesia, dan lagu kebangsaan.- Identitas
religiusitas = Indonesia pluralistik dalam agama dan kepercayaan.-
Identitas sosiokultural = Indonesia pluralistik dalam suku dan budaya.-
Identitas alamiah = Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia.
3. Nasionalisme IndonesiaNasionalime merupakan situasi kejiwaan dimana
kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara
bangsa. Nasionalisme sangat efektif sebagai alat merebut kemerdekaan
dari kolonial. Nasionalisme menurut Soekarno adalah bukan yang berwatak
chauvinisme, bersifat toleran, bercorak ketimuran, hendaknya dijiwai
oleh nilai-nilai Pancasila.
4. Integritas Nasional Menurut Mahfud M.D integrai nasional adalah
pernyataan bagian-bagian yang berbeda dari suatu masayarakat menjadi
suatu keseluruhan yang lebih utuh secara sederhana memadukan
masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa.
Untuk mewujudkan integrasi nasional diperlukan keadilan, kebijaksanaan
yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membersakan SAR. Ini perlu
dikembangkan karena pada hakekatnya integrasi nasional menunjukkan
tingkat kuatnya kesatuan dan persatuan bangsa.
Kesimpulan Identitas Nasional Indonesia adalah sifat-sifat khas bangsa
Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama dan pulau-pulau
yang dipisahkan oleh lautan. Oleh karena itu, nilai-nilai yang dianut
masyarakatnya pun berbeda-beda. Nilai-nilai tersebut kemudian
disatupadukan dan diselaraskan dalam Pancasila. Nilai-nilai ini penting
karena merekalah yang mempengaruhi identitas bangsa. Oleh sebab itu,
nasionalisme dan integrasi nasional sangat penting untuk ditekankan pada
diri setiap warga Indonesia agar bangsa Indonesia tidak kehilangan
identitas.
Unsur-unsur pembentuk identitas nasional berdasarkan ukuran parameter sosiologis, yaitu :
1.suku bangsa
2.kebudayaan
3.bahasa
4.kondisi georafis.
Unsur-unsur pembentuk identitas nasional indonesia, yaitu :
1. Sejarah
2. Kebudayaan :
-Akal budi
-Peradaban
-Pengetahuan
3. Budaya Unggul
4. Suku Bangsa : keragaman/majemuk
5. Agama: multiagama
6. Bahasa
http://elasgary.wordpress.com/2012/02/07/identitas-nasional/
IDENTITAS NASIONAL INDONESIA
Identitas berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada
suatu hal sehingga menunjukkan suatu keunikkannya serta membedakannya
dengan hal-hal lain. Nasional berasal dari kata nasion yang memiliki
arti bangsa, menunjukkan kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang
memiliki semangat, cita-cita, tujuan serta ideologi bersama.Jadi,
Identitas Nasional Indonesia adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas
bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
dentitas Nasional Indonesia meliputi segenap yang dimiliki bangsa
Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain seperti kondisi
geografis, sumber kekayaan alam Indonesia, demografi atau kependudukan
Indonesia, ideolgi dan agama, politik negara, ekonomi, dan pertahanan
keamanan.
Selama ini masyarakat Indonesia masih bingung dengan identitas
bangsanya. Agar dapat memahaminya, pertama-tama harus dipahami terlebih
dulu arti Identitas Nasional Indonesia. Moto nasional Indonesia adalah
“Bhinneka Tunggal” atau “kesatuan dalam keragaman”. Hal ini diciptakan
oleh para pemimpin Republik yang baru diproklamasikan pada tahun 1945
dan tantangan politik adalah sebagai benar mencerminkan hari ini seperti
yang lebih dari 50 tahun yang lalu. Karena meskipun setengah abad
menjadi bagian dari Indonesia yang merdeka telah menimbulkan perasaan
yang kuat tentang identitas nasional di lebih dari 13.000 pulau-pulau
yang membentuk kepulauan, banyak kekuatan lain yang masih menarik negara
terpisah. Deklarasi kemerdekaan mengikuti proses yang lambat penjajahan
Belanda yang dimulai pada abad ke-17 dengan penciptaan VOC Belanda.
Saat itu rempah-rempah yang menarik para pedagang Eropa untuk koleksi
pulau-pulau kecil di tempat yang sekarang Eastern Indonesia. Belanda
memonopoli perdagangan dan dari sana memperluas pengaruh mereka –
terutama melalui pemerintahan tidak langsung – di koleksi kesultanan dan
kerajaan yang independen yang membentuk daerah itu. Kesatuan politik di
bawah Belanda hanya dicapai pada awal abad ini, meninggalkan identitas
regional yang kuat utuh.
Menghadapi identitas nasional
Bangsa Indonesia sendiri masih kesulitan dalam menghadapi masalah
bagaimana untuk menyatukan negara yang mempunyai lebih dari 250 kelompok
etnis, yang memiliki pengalaman dari Belanda bervariasi dari satu
wilayah ke wilayah lainnya.
Sukarno, yang menjadi presiden pertama dari Republik, adalah seorang
nasionalis tertinggi. Dialah yang menciptakan ideologi nasional
Indonesia Pancasila dirancang untuk mempromosikan toleransi di antara
berbagai agama dan kelompok-kelompok ideologis. Penyebaran bahasa
nasional – Bahasa Indonesia – juga membantu menyatukan multi-bahasa
penduduk.
Langganan:
Postingan (Atom)