WAWASAN KEILMUAN

Minggu, 21 Oktober 2012

Rangkuman pemikiran hukum islam indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti. Dari sentralnya di Mekah, melalui misi kenabian Muhammad saw, kemudian bergerak ke Madinah, sebuah kota yang kemudian menjadi sentral pembentukan masyarakat muslim dengan system sosial yang semakin kokoh dan jelas serta membentuk model masyarakat madani pada jamannya, interpretasi- interpretasi baru dan orisinal terus bermunculan untuk menjawab segala persoalan yang dijumpainya. Dalam proses ini terbentang panjang rentetan tokoh pembaru dengan pemikiran-pemikiran orisinalnya paska Nabi Muhammas saw. Ketika gerekan pembaruan Islam tersebut ke Nusantara , wilayah ini sedang berada dalam kekuasaan penjajah, khususnya Belanda dan Jepang.
Pengusiran penjajah asing mungkin bukan tujuan utama dalam gerakan pembaruan Islam Indonesia.  Tetapi, hidup damai dengan kebebasan berfikir dan melaksanakan ajaran Islam secara penuh adalah cita-cita yang mensyaratkan adanya kebebasan dan dan kedaulatan wilayah Negara. Dan sebagai mana juga yang menjadi tujuan awal dari gerakan itu sendiri, pembaruan Islam di Nusantara telah mengilhami munculnya gerakan-gerakan dengan smangat mengahapuskan kemusyrikan-kemusyrikan, memurnikan ajaran Islam mencairkan kejumudan , menumbuhkan smangat berfikir kritis, dan mempraktekkan ijtihad.
Demikianlah, dapat disaksikan lembaran-lembaran sejarah pembaharuan Islam di Indonesia sejak akhir abad ke-18 yang di bawa oleh para tokoh pambaru awal. Secara komprehensif kajian tentang gerkan pembaruan di Indonesia dibahasa dalam banyak buku karya-karya para sarjana tentang pembaruan Islam di Indonesia, baik sarjana-sarjana Indonesia muapun sarjana-sarjana barat lainnya.
Kajian-kajian di atas pada gilirannya menjadi referensi penting yang kemudian dikaji kembali, disbanding, bahkan dikritisi oleh pengkaji-pengkaji berikutnya. Pembaharuan  Islam  dibidang pemikiran dan gerakan menjadi focus pengkajian Nurman Said dan Zaim Rais. Kasus lain dari pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia dikaji oleh Zaim Rais dalam tulisannya tentang respon kaum tua minangkabau terhadap gerakan pembaruan Islam. Gerakan pembaruan Islam diminangakabau pada awalnya muncul sebagai reaksi intelektual terhadap berbagai bentuk penyimpangan dalam pemahaman maupun pengalaman Islam di mkalangan masyarakat minangkabau.
Dari kajian Zaim di atas tampak bahwa upaya pembaruan pemikiran Islam tidak hanya terjadi pada dataran intelektual sebagai wacana. Upaya harmonisasi antara hukum Islam dan realitas sosial masyarakat Indonesia tidak berhenti sampai pada hukum perkawinan dan waris. Ada dua latar yang mengantar pada pembuatan KHI, yaitu latar sosial masyarakat Indonesia dan latar politik dalam kaitannya dengan kepentingan umat Islam dalam system pemerintahan dan system kenegaraan Indonesia. Di tengah-tengah upaya penerapan hukum Islam bagi penganut Islam di Indonesia dalam system formal, wacana, dan praktek-praktek pelaksanaan hukum Islam Indonesia, juga dapat dilihat dalam perdebatan para tokoh Islam dalam berbagai lapisan masyarakat.
Hasbi menjelaskan beberapa contoh, seperti masalah bayi tabung, pencangkokan organ tubuh, dan zakat profesi sebagai kasu-kasus yang menjadi perhatian para ulama’ Dayah. Perdebatan tentang hukum Islam dalam system pemerintahan dan system kenegaraan di Indonesia adalah ramgkaian yang tidak terputus dari upaya yang tidak henti-hentinya dilakukan oleh kaum muslimin dalam sejarah Islam di Indonesia sejak awal abad ke-20. Pada masa yang lebih kini, gerakan politik Islam tetap menunjukkan segnifikasinya dalam politik nasional Indonesia.
Pembaruan pendidikan di dunia Islam itu memang sebuah kebutuhan yang tidak biasa di tawar-tawar. Reformasi pendidikan Islam di Indonesia ternyata merupakan proses yang terus berlangsung dan dialami oleh semua komponen pendidikan muslim. Dalam kenyataannya, pembaruan dalam Islam tidak hanya meliputi empat bidang, dapat disaksikan, sehingga sekarang semangat pembaruan Islam dalam pemikiran dan gerakan semakin menunjukkan arah yang jelas. Munculnya berbagai gerakan baik yang mengikuti jalur structural, lahirnya ormas-ormas Islam yang baru, maupun dalam bentuk harakah-harakah tajdid lainnya menunjukkan adanya smangat yang semakin dinamis dalam perkembangan Islam di masa mendatang. Pada gilirannya merekapun akan memainkan peranan-peranan yang semakin penting dalam pembentukan tatanan masyarakat baru yang mandiri, terbuka, dan adil, yang didasarkan pada semangat universalisme Islam.


BAB II
PEMBAHASAN
PEMBARUAN ISALM : PEMIKIRAN DAN GERAKAN
Signidfikasi karya-karya Al-Ghazali terhadap perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.
Posisi Al-Ghazali sebagai seorang pemikir  muslim terkamuka yang sangat berpengaruh di sepanjang sejarah Islam merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Keistimewaan Al-Ghazali terletak pada kedua-duanya, yakni penguasaan yang mendalam tentang berbagai aspek ajaran Islam disamping juga kemampuannya melahirkan karya-karya tulis yang menyentuh kebutuhan umat Islam dalam memnuhi harapn untuk memperoleh pengethuan tentang Islam yang memadai.
Kedudukan karya-karya Al-Ghazali bagi pembentukan pemahaman Islam dikalangan masyarakat muslim Indonesia sangatlah penting. Keistimewaan karya-karya Al-Ghazali selain telah berhasil membentuk corak pemikiran Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk. Muslim Indonesia, sekaligus juga sukses mempromosikan kecenderungan ahlussunnah wal jama’ah (ahl al-sunnah wa al-jama’ah) di kalangan penduduk muslim Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dilihat dari perspektif teologis, Al-Ghazali adalah pengikut  Asy’ariyah; sedang dari perspektif fiqih, Al-Ghazali adalah pengikut madzhab Syafi’i. atasa dasar inilah maka mayoritasa penduduk muslim indonesiategolong pengikut atau memihak kepada dua kecenderungantersebut.
Keberhasilan faham Asy’ariyah menjadi kecenderungan faham teologi yang sangat populer dikalangan masyarakat muslim Indonesia merupakan wujud dari keberhasilan Al-Ghazali memperkanalkan faham teologi yang kemudian menjadi anutan mayoritas penduduk Indonesia tersebut. Masdar F. Mas’ud mengatakan bahwa Al-Ghazali adalah tokoh kunci yang telah berhasil menjadikan Asy’ariyah sebagai satu-satunya system teologi yang diterima sedemikian luas di dunia sunni Islam termasuk di Indonesia.



RESPON KAUM TUA MINANGKABAU TERHADAP GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM
1.      Respon kaum tua tentang masalah-masalah khilafiyah
a.       Bantahan syekh khatib ali tentang ijtihad
Pada decade awal abad ini, kontroversi tentang ijthad menjadi salah satu masalah serius yang diperdebatkan oleh kaum tua dan kaum muda. Masalah ini pertama dimunculkan oleh kaum muda karena meeka melihat banyaknya umat terjerumus kedalam berbagai penyimpangan agama karena mereka tidak punya pilihan lain selain taqlid dan masih terbelakangnya kehidupan mereka karena disebabkan pintu ijtihad telah ditetapkan oleh para ulama’ (kaum tua) sebagai telah ditutup. Dengan ringkas, menurut mereka taqlid telah menjadi penyebab utama penyimpangan agama dan kebodohan umat.
Karena itu, ulama’ kau muda menyerang habis-habisan pandangan sesat itu. Mereka mengatakan, anggapan bahwa bahwa pintu ijtihad telah tertutup diman umat hanya harus bertaqlid semata merupakan pendapat yang tidak punya dasar sama sekali, baik dalam Al-Qur’an dan sunnat maupun para imam mazhab. Penelitian yang cermat terhadap sunber-sumber poko ajaran Islam, menurut mereka justru sangat mendorong ijtihat dan sangat menentang taqlid itu. Karena itu dlam pandangan mereka, mujtahid akan senantiasa ada sepanjang zaman demi untuk kebaikan kehidupan manusia itu.
Pandangan ulama’ kaum mida ini dengan segala dan upaya ditentang mati-matian oleh ulama’ kaum tua. Tokoh yang paling ngotot mengemukakan bantahan itu ialah Syekh Khatib Ali, ulama’ senior dikalangan kaum tua. Berbeda dengan pendapat kalangan kaum muda, Khatib Ali justru berpendirian bahwa pendapat tentang keharusan taqlid karena pintu ijtihad telah tertutup memiliki landasan yang jelas dalam tradisi Islam. Ia mengatakan bahwa pendapat itu mirip ijma’ ulama’ mutaakhirin seperti Nawawi, Ibn Hajar dan Al-Ramli. Para imam ini, menurut khatib Ali, telah sepakat bahwa ijtihad itu telah berakhir semenjak abad ke-7 H, denag telah terbentuk madzhab yang empat. Dengan telah adanya madzhab itu berarti semua hukum-hukum telah dirumuskan begitu rupa dimana umat belakangan cukup merujuk (bertaqlid)keada kitab-kitab madzhab tersebut.



2.      Konsep bid’ah
Bagi kaum muda minangkabau, pembicaraan tentang apa saja cakupan dan ruang lingkup bid’ah sangat tergantung kepada pemahaman kita tentang sunnah. Menurut mereka, peranan Nabi Muhammad dalam Islam ini besar dan menetukan. Karena sesuai denga ketetapan Allah, Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah yang diberi amanah yang harus dia sampaikan kepada umat manusia. Karena itulah, disamping Allah,Nabi Muhammad juga berfungsi sebagai syari’ (sumber asal syari’at Islam). Atas dasar ini, segala hal yang berkenaan dengan ajaran Islam yang datang dari Nabi adalah sunnah, dan segala hal yang bertentanga dengan itu adalah bid’ah.
Bila kita lihat pandangan ulama’ kaum tua, akan terlihat bahwa mereka memiliki pandangan yang amat berbeda dengan pandangan ulama’ kaum muda. Mereka dalam hal ini mengacu kepada pendapat Imam Syafi’i yang membagi bid’ah itu menjadi dua macam, yaitu (1) bid’ah hasanah dan (2) bid’ah sayyi’ah. Bid’ah hasanah ialah segala macam bid’ah yang tidak bertentangan dengan sunnah. Sementara bid’ah sayyi’ah ialah segala sesuatu yang bertentangan dengan sunnah itu. Berdasarkan pada pendapat Syafi’i ini, bagi ulama’ kaum tua, bid’ah itu tidak bisa dinilai hany pada dasar satu kategori saja. Karena, sebagaimana dikatakan Syafi’i, setiap bid’ah itu tidak menyesatkan (dhlalah), kecuali yang bertentangan dengansyari’ah. Semenetara yang justru sesuai atau bahkan memperkokoh syari’ah itu tidak termasuk kepada bid’ah yang menyesatkan. Inilah yang menjadi prinsip kaum tua minangkabau, sebagaimana dikatakan oleh salah seorang tokohnya yang lain, yaitu Syekh Bayang.
3.      Perdebatan tentang ushalli           
Menurut pendapat ulama’ kaum muda, membaca ushalli ketika hendak melakukan shalat adalah perbuatan yang termasuk kapada bid’ah syari’ah, yang berarti bid’ah dhlalah. Apalagi ini mengingat, yang dijadikan dasar hukum oleh yang menganggap sunnatnya ini ialah hanya Imam Nawawi, yang menurut ulama’ kaum muda, tidak bisa dianggap sebagai hukum asal (syar’i).
Sementara itu, kririk yang disampaikan oleh ulama’ kaum muda yang menegaskan bid’ah dhalalahnya ushalli itu ditanggapi oleh pihak kaum tua dengan menggunakan perspektif mereka tentang apa yang disebut bid’ah. Walauoun ulama’ kaum tua itu mengakui bahwa dikalangan ulama’ Syafi’i terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang kedudukan hukum usholli itu, mereka menegaskan bahwa pendapat yang terkuat adalah yang mengatakan sunnatnya. Dalam menanggapi kritik kaum muda terhadap bid’ah tersebut. Mereka menempatkan ushalli tersebut dalam katagori yang harus dilihat dari segi ‘illatnya.Menurut mereka mengingat niat itu amat menentukan sah tidaknya shalat dana karena itu harus benar-benar tertanam begitu kuat dalam hati yang salat tersebut. Maka berdasarkan salah satu kaidah ushul fiqih segenap upaya yang dapat menyebabkan tertanamnya dengan kuat niat itu dalam hati orang yang shalat merupakan perbuatan yang  baikdan perlu dilakukan.

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Pergumulan hukum Islam dan adat di Indonesia
1.      Taklik talak (ta’liq talaq)
Metode perceraian yang umum berlaku dalam ikatan perkawinan orang-orang Islam si Indonesia adalah melalui institusi talaq (talak), yang dalam hal ini suami dapat menceraikan istrinya sesudah usaha-usah yang dilakukan oleh pengadilan Agama untuk merekonsiliasikan pasangan suami istri tersebut tidak menemui hasil yang memuaskan. Namun begitu, cara lain yang dilakukan untuk mengakhiri kehidupan perkawinan bukannya tidak umum untuk dilakukan. Dalam pasal 38 Hukum Perkawinan (Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa ikatan perkawinan dapat dilepaskan melalui satu dari tiga cara : karena kematian, perceraian, atau keputusan pengadilan. Seoarng oleh karenanya mendapatkan dua cara untuk mengakhiri perkawinan lewat campur tangan pengadilan, yaitu melalui proses khul’(khulu’ dalam bahasa indonesia) dimana istri setuju untuk  mengembalikan mahar kepada suaminyasebagai imbalan dari kemerdekaan yang bakal ia peroleh, atau melakukan perceraian yang digantungkan kepada suatu kondisi yang secara umum dikenal dengan istilah taklik talak, yang berasal dari istilah bahasa Arab ta’liq thalaq.
Elemen yang diambil dari hukum adat yang secara jelas berperan disini adalah pengakuan atas hak istri untuk mengajukan perceraian suatu bentuk yang sudah lama ada dalam hukum perkawinan. Islam Indonesia, adanya fakta bahwa taklik talak tergantung kepada kerelaan istri, atau tidak, untuk terjadinya suatu perceraian, kekuasaan yang diberikan kepada si istri dalam institusi ini. Dengan demikian, tidak bisa disangkal lagi, posisi dari partner perempuan ini diperkuat lagi oleh kecenderunganyang umum dari hukum adat untuk memberikan status yang kurang lebih sama antara suami dan istri dalam kehidupan perkawinan. Kalau hukum Islam mengajarkan betuk perceraian oleh istri melalui institusi khul’, sifat egalitarian yang dikemukakan oleh hukum adat berperan sebagai pelengkap dalam institusi Islam ta’liq talaq. Dalam hal ini, status istri dengan mudah di seimbangkan dengansuaminya dalam hal perceraian. Denagn demikian, institusi Islam ta’liq thalaq, yang menunda percerian semata-mata atasa dasar-dasar syarat yang diucapkan dalam formula ta’liq semata, dimodifikasi sedemikian rupa sehingga institusi taklik talak Indonesia menjadi tergantung sepenuhnya kepada kerelaan istri.
Sejalan dengan tujuan hukum perkawinan untuk tidak membuat perceraian sebagai suatu hal yang mudah untuk dilakukan, komplikasi hukum Islam kemudian memandang taklik talak ini bukan sebagai alas an perceraian tetapi lebih ditempatkan dalam bab tentang perjanjian perkaawinan yang dibauat oleh kedua belah pihak. Hal ini dapat dibuktikan dari fakta bahwa taklik talak ini dikategorikan dalam komplikasi bukan di bawah bab tentang perceraian (pasalXVI) tetapi justru berada di bawah bab tentang perjanjian perkawinan (pasal VII). Lebih dari itu, pasal 46, alinea 2 dari komplikasi tersebut mengatur bahwa perceraian tidak secara otomatis terjadi jika syarat yang ada dalam taklik talak dipenuhi, tetapi masih digantungkan kepada pengaduan yang sevara sungguh-sungguh di ajukan oleh si istri kepada pengadilan Agama. Sejalan dengan pasal ini maka dapat dikatakan bahwa komplikasi pada kenyataannya tidak berlawanan dengan hukum adat, bahkan sesungguhnya ekuivalen dengan nilai-nilai daerah yang terkandung dalam adat
2.      Harta bersama dalam perkawinan
Dalam hukum adat, harta benda yang dimiliki oleh suami dan istri dapat dibedakan menjadi 2 kategori yang umum. (1) harta benda yang diperoleh sebelum perkawianan ; dan (2) harta benda yang didapat setelah atau selama perkawinan.
Konsep kepemilikan harta dalam perkawinan ini merupakan produk hukum adat dan di derivikasikan dari premis filosofis nilai-nilai local yang menetapkan keseimbangan antara suami dan istri dalam kehidupan perkawinan. Mengenai klaim terhadap harta benda tersebut, kedua partner daalam ikatan perkawinan tersebut dipandang sebagai dua pihak yang mempunyai hak-hak yang sama di bawah hukum, karena”memelihara rumah tangga sejak dahulu dipandang sebagai tugas yang harus dipikulmemelihara rumah tangga sejak dahulu dipandang sebagai tugas yang harus dipikul bersama serseimbang oleh kedua pihak”.
Peraturan yang paling baru berkanaan dengan kerja sama dlam perkawinan ini dapat ditemukan dalam bab XIII komplikasi hukum Islam tentang harta benda dalam perkawinan. Aturan-aturan tersebutmenunjukkan usaha-usaha yang dilakukan oleh para eksponen hukum Islam di Indonesia untuk mengakomudasikan hukum Islam dengan hukum adat. Karena sebagian besar buku tentang fiqih tidak menjelaskan institusi harta bersama dalam perkawinan. Yang mirip institusi yang sudah lama berurat akan dan hidup dalam masyrakat setempat. Para ulama’ merasa berkewajiban untuk memasukkan institusi masyarakat ini kedalam system hukum Islam. Sikap kompromistis yang diambil oleh para eksponen dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, orang-orang Indonesia tidak berhentiuntuk mengamalkan aturan-aturan yang berasal dari adat. Sekedar menghapuskan lembaga harta bersama dlam perkawinan ini, oleh karenanya, jelas tidak mungkin, dan sesungguhnya tidak akan sesuai dengan jiwa  hukum Islam yang mengijinkan hukum adat untuk dipraktekkan sepanjang mereka tidak bertentangan sumber utama hukum Islam.
3.      Wasiat wajiban (washiyah wajibah)
Sesuai dengan hukum adat, umum dilakukan oleh keluarga Islam untuk mengadopsi seoarng anak laki-laki ataunperempuan, untuk kemudian dimasukkan ke dalam lingkungan keluarga mereka. Didukung oleh berbagai system hukum adat yang bersifat lookal dan unik, adopsi telah menjadi perbuatan hukum yang bersifat umum dengan karakteristik yang sama diantara kelompok masyarakat yang berbeda-beda.
Walaupun aplikasi  adopsi sevara terperinci  berbeda dengan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya di Indonesia, beberapa bentuk karakteristik umu dari adopsi yang didukung oleh hukum adat muncul : yaitu,(1) bahwa anak angkat secara otomatis dimasukkan dalam lingkungan keluarga orang tua angkat; (2) bahwa hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua asli terputus; dan (3) posisi hukum anak angkat dalam kewarisan sama dengan anak asli.
Berdasar pada praktek hukum tersebut, maka kemudian para ahli hukum Islam Indonesia merasa berkewajiban untuk mengetahui kesenjangan antara hukum Islam dan hukum adat. Karena hukum Islam secara keras menolak lembaga adopsi ini, maka para ahli hukum Islam di Indonesia berusaha mengakomodasikan system nilai yang ada, dalam kedua hukum denga jalan mengambil dari institusi wasiat wajibah yang berasal dari hukum Islam sebagai sarana untuk menerima fasilitas nilai moral yang ada dibalik praktek adopsi dalam adat.

RATIONALE SOSIAL POLITIK PEMBUATAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Pembuatan kompilasi hukum Islam di Indonesia merupakan upayaa terbaru untuk selalu mempersentuhkan hukum Islam dengan perkembangn ssosial dan untuk selalu stay dalam tradisi yang hidup dalam masyarakat. KHI telah menghadirkan perturan-peraturan baru tentang kasus-kasus yang tidak dikenal sebelumnyadalam hukum di Indonesia. Penggunaan bahan-bahan non shafi’iyah pada level lembaga peradilanbisa dianggap sebagai new historical chapter (babakan sejarah baru) yang mengikuti perkembangn hukum pada level akademik. Sebagai tambahan, keinginan untuk mempertimbangkan tradisi sosila dan kebiasaan-kebiasaan dalam memilih hukum yang akan dimasukkan dalam KHI merefleksikan semangat reformasi hukum Islam yang telah dipromosikan oleh beberapa cendekiawan untuk mengindonesianisasi hukum Islam.
Ada dua jenis factor sosial yang dapat dianggapa menjai latar belakang sosial pembauatan KHI. Pertama, keinginan untuk mengakomodasi hukum dan peraturan adat dan tradisi yang hidup di masyarakat yang dapat diteriam olehkaidah dan prinsip hukum Islam. Tipe factor sosial kedua adalah keinginan untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik melalui pembangunan 1 bidang keagamaan. Untuk tujuan ini, formulator KHI menggunakan pendekatan-pendekatan maslahah mursalah dan sad al-dhara’I yang ditunjukkan untuk mempromosikan kebiasaan umum. Kombinasi kedua factor sosial ini adalah latar belakang utama dari dibuatnya KHI.
Akomodasi KHI terhadap hukum adat tidaklah berarti berakhirnya hukum adat yang kemudian digantikan dengan hukum Islam, melainkan berarti penyatuan dan harmonisasi kembalisesuatu yang telah lama hilang. Lebih jauh lagi KHI sebagai produk dari ulama’ dan sarjana hukum Islam di Indonesia merupakan sebuah fenomena hukum yang sangat besarmaknyanya bagi tumbuh dan berkambangnya semangat reformasi dan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, yang saat-saat ini menjadi trend dalam banyak kajian hukum Islam di dunia akademik, dan khususnya institusi agama Islam negeri (IAIN).

ULAMA’ DAYAH : PERAN DAN RESPONNYA TERHAEDAP PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

Sejarah Islam di Aceh memperlihatkan bahwa ulama’ telah memainkan peran aktif sejak awal kesultanan. Peran ulama’ sebagai penasehat setia pada sultan tidak dapat diabaikan. Pada masa kejayaan kerajaan Islam di aceh, ulama’ benyak menghasilkan karya-karya ulama’ dalam berbagai bidang yang telah memberi pengaruh terhadap kepulauan Indonesia dan bahkan Asia Tenggara.
            Komitmen ulama’ terhadap kehidupan sosial politik masyarakat Aceh secara mendalam. Ulama’ selalu aktif dalam persoalan menyangkut Negara dan masyarakat, yang pada gilirannya tampak bahwa aspek yang terpenting dari fungsi mereka adalah memelihara Agama dan budaya dari pengaruh luar. Untuk mencapai tujuan tersebut mereka mengajar para pemuda di Dayah dan mensosialisasikan ajaran-ajaran Islam melalui dakwah.
Sebagai pembimbaing masyarakat dalam bidang agama, ulama’ dayah mancurahkan tenaga auntuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang agama. Misalnya sebagai imbas dari adanya ilmu pengetahuan dan tekhnologi, aspek kehidupan manusia yang berubah dan harus dievaluasi untuk menentukan boleh tidaknya menurut Islam. Dalam hal ini ulama’ Dayah mamiliki cara sendiri dalam memutuskan setiap persoalan, yaitu dengan merujuk kepada imam dari empat madzhab, khususnya madzhab Syafi’i.



HAJI AGUS SALIM DAN GERAKAN NASIONALISME DI INDONESIA PADA AWAL ABAD 20

Haji Agus Salim memainkan perannya yang signifikan dalam SI, sebuah gegrakan nasionalisme terbesar pada awal abad 20, yang mampu membangkitkan semangat bangsa dan memimpin mereka untuk mencapai kemerdekaan, SI juga memiliki karakteristik sebagai gerakan reformasi Islam yang berpengaruh, walauoun secara eksplisit tidak menampakkan diri.
Kegelapan yang menyelimuti bangsa Indonesia yang disebabkan konsep kepercayaan yang diwarnai mistik dan tradisi-tradisi agama kuno, juga keterbelakangan intelektual juga mendorong kelompok muslim modernis untuk menggali dan mengamalkan konsep agama yang murni. Dalam hal inilah, Haji Agus Salim memainkan peran pentingnya di SI, sebab ia meyakini bahwa Islam dapat bersesuaian dengan kebutuhan jaman modern. Beliau telah mendefinisikan kembali Islam dengan perkembangan Indonesia kontemporer. Kemudian mengaplikasikannya dalam politik.
Perjuangan Agus Salim sebagai tokoh muslim modernis dari kalangan pergerakan politik muslim diperkuat oleh hubungan baiknya dengan beberapa organisasi modernis lainnya, seperti Al Irsyad dan Muhammadiyah. Bersama-sama dengankedua organisasi modenis muslim ini Agus Salim bekerja meningkatkan tingkat pendidikan, pemahaman terhadap agama,sosila,ekonomi dan politik bangsa. Disamping itu, ia bersama Tjokroatmojo, berusha mempersatukan organisasi-organisasi Islam dalam bebarapa konggres pan-Islam.
            Agus Salim yang hidup pada jaman yang penuh bahaya telah berhasil mengabdi, baik pada Indonesia ataupun pada Islam, dan membawa keduanyakepada suatu kondisi diman mereka dapat berkambang dan mangatur negri sendiri. Dengan kemampuannya mengorganisasikan dan membimbing anak bangsa dan generasi muda (seperti perannya dalam JIB) telah mempromosikannya pada tempat yang khusus, dan meninggalkan inspirasi berwawasan nasional yang tidak dapat dipisahkan dari ajarn Islam bagi tunas-tunas baru bangsa yang tumbuh pada jaman berikutnya ketika ia sudah tiada.



MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN SEBAGAI KEBUTUHAN MASYARAKAT

Pandangan tipologi dari Smith dan aplikasinya bagi Indonesia sangat bermanfaat. Seperti terlihat bahwa butir pertama dan keempat terbukti benar teraplikasi di Indonesia,yaitu ; pertama, Negara telah memberikan pengaruh dalam pemisahan Negara dan nilai-nilai agama. Kedua, dengan kekuatannya, Negara telah memasuki wilayah masyarakat , khususnya dalam bidang pendidikan, yang mempengaruhi secara mendalam tehadap system pendidikan yang dikelola oleh lembaga pendidikan Islam. Ketiga, kebangkitan politik menimbulkan tantangan besar bagi rasa keanggotaan masyarakat dalam suatu agama. Keempat, agama dan kepribadian agama telah kehilangan arah terhanyut oleh arus politik yang dikendalikan pemerintah. Hanya butir keliam, yakni suatu usaha sekularisasi yang membawa masyarakat tidak lagi mengenal agama yang belum terealisasikan. Sebab rejim sekarang menyimpulkan bahwa agama merupakan asset pembangunan nasional dan tidak dianggap sebagai hambatan. Hal ini karena umat Islam telah berhasil menunjukkan sikap dan pandangannya yang mendukung program dan kebijakan pemerintah.
Akan tetapi,walaupun kebanykan tesis dari Smith terbukti, namun hanya bersifat persial. Nilai-nilai Islam di Indonesia hidup dan menemukan cara lainuntuk mempengaruhi dominasi Negara walaupun Islam di Indonesia saat ini lebih lemah dibandingkan dengan sebelumnya kemunculan Negara nasional Indonesia. Pada kesempatan yang sama, posisi Islam telah berubah, tidak lagi terikat dengan konsep tradisional, akan tetapi akan tetapi menyesuaikan diri dengan dunia baru nasionalisme dan domonasi Negara. Lebih lanjut lagi, berkanaan dengan pesantren, bukanlah suatu aib jika pesantren mengikuti petunjuk pemerintah. Namun tentu saja system akomudasi yang cermat harus dibangun dalam usaha mengadakan perubahan dan usaha untuk meningkatkan bangsa sesuai dengan nilai-nilai Islam, termasuk di dalamnya revisi system pendidikan yang ditawarkan pemerintah.



KYAI HAJI ABDUL WAHID HASYIM : DAN PEMBARU PENDIDIKAN ISLAM DAN PEJUANG KEMERDEKAAN

Meskipun Wahid Hasyim berasal dari kelompok tradisional, sudah jelas bahwa ia menunjukkan suatu aktivitas yang maju dengan pendekatan yang modern, suatu hal yang cukup comparable. Dibandingkan aktivitas yang dilakukan oleh koleganya dari kelompok muslim modernis,  dan mempunyai peran yang setara dalam menumbuhkan dan membangkitkan kesadaran berbangga dalam melawan penjajah dan merebut kemerdekaan. Latar belakangnya sebagai kaum tradisionalis, menurut Martin Van Bruinessen, cukup fleksibel dan pengalamannya yang banyak baik ketika belajar di pesantren maupun menuntut ilmu di arabiatampaknya memberikan kontribusi yang segnifikan terhadap dirinya dalam memandang masa depan dan terhadap sikap adaptifnya terhadap segala betuk pembaruan.
Dalam pendidikan, keterlibatan Wahid Hasyim dalam proses belajar mengajar dan hasil kontaknya dengan koleganya baik dari kalangan modenis maupun kalangan sekuler, menyadarkan dia bahwa NU pada waktu itu sangat kekurangan orang-orang intelektual, sebagaimana dikatakannya ;”menemukan orang akdemisi (pada bidang non-keagamaan) dilingkunag NU bagaikan menemukan penjual es pada waktu pukul satu di malam hari”. Hal ini karena sitem pendidikan pesaantren hanya mengajarkan ilmu agama saja. Inilah yang menginspirasi Wahid Hasyim untuk meningkatkan siatem pendidikan di pesantren melalui pengenalan misalnya metode tutorial yang dipandang lebih efektif, memberikan mata pelajaran ilmu pengetahuan yang sekuler dan membentuk system pendidikan baru yang dinamakan madrasah. Tujuan dari pembaruannya dalah meningaktkan kualitas lulusan pesantren agar mereka dapat bersaing dengan koleganya, Lulusan sekolah sekuler.
Pilot projectnya adalah memudernisasi system pendidikan pesantren dengan mendirikan madrsah Nizamiyah  di Tebu Ireng. Dimana kedua ilmu : agama dan sekuler, diajarkan bersam-sama. Keberhasilan tersebut merupakan langkah awal baginya dalam pengembangan institusi pendidikan di seluruh tanah air. Wahid Hasyim sadar bahwa hal itu sangat sulit dilaksanakan karena adanya resistensi dari para kyai yang mempunyai otoritas penuh terhadap pesantern. Oleh karena itu, ia menyadari bahwa ia harus melakukan sesuatu agar mereka sadar arti pentingnya pembaruan, dan sebagai bikti, ia menunjukkan keberhasilan Madrasahnya dlam membekali siswanya denganberbagai keterampilan. aspek yang paling penting dari penerapan ide-idenya adalah Wahid Hasyim tidak menghilangkan pesantern tetapi ia berusaha mempertahankannya dan modrnisasi sistemnya yang dirasakan dapat meningkatkan keterampilan santrinya.
Berkaitan dengan aktivitas politiknya, Wahid Hasyim mempunyai peran yang penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan pembentukan Negara Republik Indonesia. Disegani  baik oleh kawan dan lawannya sebagai pemimpin yang cakap, Wahid Hasyim mampu membangun jaringan pesantren (pesantren network) yang dapat digunakan sebagai alat, bersama-sama dengan kelompok sekuler nasionalis, melawan pemerintah colonel. Selama masa pemerintah colonel, khususnya pada masa jepang, ia sangat cerdik dalam membuat maneuver terhadap pemerintah jepang untuk memberiakn fasilitas yang dapat digunakan unyuk mempersiapkan kader-kader yang siap berjuang merebut kemerdekaan dan kemudian dimanfaatkan melawan belanda ketiaka mereka ingin menjajah kembali Indonesia.



BAB III
KESIMPULAN

Meskipun wahid hasyim berasal dari kelompok tradisional, sudah jelas bahwa ia menunjukkan suatu aktivitas yang maju dengan pendekatan yang modern, suatu hal yang cukup comparable, dibandingkan aktivitas yang dilakukan oleh koleganya dari kelompok muslim modernis, dan mempunyai peran yang setara dalam menumbuhkan dan membangkitkan kesadaran berbangsa dalam melawan penjajah dan merebut kemerdekaan. Dalam pendidikan, keterlibatan Wahid Hasyim dalam proses belajar mengajar dan hasil kontaknya dengan koleganya baik dari kalangan modernis maupun kalangan sekuler, menyadarkan ia bahwa NU pada waktu itu sangat kekurangan orang-orang intelektual, sebagaimana dikatakannya ;”menemukan orang akdemisi (pada bidang non-keagamaan) dilingkunag NU bagaikan menemukan penjual es pada waktu pukul satu di malam hari”. Hal ini karena sitem pendidikan pesaantren hanya mengajarkan ilmu agama saja. Inilah yang menginspirasi Wahid Hasyim untuk meningkatkan siatem pendidikan di pesantren melalui pengenalan misalnya metode tutorial yang dipandang lebih efektif, memberikan mata pelajaran ilmu pengetahuan yang sekuler dan membentuk system pendidikan baru yang dinamakan madrasah. Tujuan dari pembaruannya dalah meningaktkan kualitas lulusan pesantren agar mereka dapat bersaing dengan koleganya, Lulusan sekolah sekuler.
Pilot projectnya adalah memudernisasi system pendidikan pesantren dengan mendirikan madrsah Nizamiyah  di Tebu Ireng. Dimana kedua ilmu : agama dan sekuler, diajarkan bersam-sama. Keberhasilan tersebut merupakan langkah awal baginya dalam pengembangan institusi pendidikan di seluruh tanah air. Wahid Hasyim sadar bahwa hal itu sangat sulit dilaksanakan karena adanya resistensi dari para kyai yang mempunyai otoritas penuh terhadap pesantern. Oleh karena itu, ia menyadari bahwa ia harus melakukan sesuatu agar mereka sadar arti pentingnya pembaruan, dan sebagai bikti, ia menunjukkan keberhasilan Madrasahnya dlam membekali siswanya denganberbagai keterampilan. aspek yang paling penting dari penerapan ide-idenya adalah Wahid Hasyim tidak menghilangkan pesantern tetapi ia berusaha mempertahankannya dan modrnisasi sistemnya yang dirasakan dapat meningkatkan keterampilan santrinya.
            Wahid Hasyim juga mengilhami berdirinya institusi professional bagi guru agama dan perguruan tinggi agama. Berkaiatan dengan aktivitas politiknya, Wahid Hasyim mempunyai peran yang penting dalam perjuangan merbut keberdekaan dan pembentukan Negara Republik Indonesia. Penunjukkannya sebagai anggota BPUPKI yng menghasilkan piagam Jakarta, merupakan bukti kemampuannya dalam meyakinkan orang untuk kompromi.
Dilihat dari perspektif ini, keurigaan sarjana dari kalangan modernis dan barat yang melihat ulama’ tradisional sebagai kaum yang ortodoks, konservatif dan resisten terhadap segala hal yang baru, dan penolakan terhadap sumbangsih NU terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, sudah seharusnya dipertanyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar